Lebih dari 38 tahun lewat sudah, dimulai sejak dipancangkannya bendera pertama Pecinta Alam di tanah air ini, yang dipelopori di Bandung oleh kelompok Pendaki Gunung dan Penempuh rimba Wanadri, dan 3 bulan kemudian di Universitas Indonesia dengan kelompok Mapala UI - nya.
Saat ini, kepeloporan mereka telah diikuti oleh ribuan organisasi Pecinta Alam lain yang tersebar diseluruh pelosok tanah air, baik ditingkat Sekolah Menengah, Universitas maupun dari kalangan umum.
Entah berapa ratus ribu, total anggota dari seluruh kelompok ini, dimana dengan semangat berpetualang mengembangkan hobynya untuk mendaki gunung, menempuh rimba, mengarungi jeram, menyisir pantai, maupun memasuki goa terdalam, kelompok Pecinta Alam sudah menunjukan eksistensinya.
Sejak tahun 1974, Kode Etik Pecinta Alam secara aklamasi diterima sebagai visi normatif bagi setiap Kelompok Pecinta Alam, tepatnya pada saat Gladian ke IV di Makassar.
Kelompok maupun individu Pecinta Alam yang sejak lama dikenal dengan semangat dan militansinya, sudah lama pula diketahui ikut mengharumkan nama bangsa dalam berbagai kegiatan fenomenal, entah yang bersifat pengabdian sosial, penanggulangan akibat bencana, bahkan sampai prestasi-prestasi monumental.
Kita sama-sama mencatat, satu demi satu puncak-puncak gunung tertinggi, aliran sungai-sungai terderas, gua-gua terdalam, pantai-pantai terpanjang, dinding-dinding cadas menjulang, berhasl dilewati, seraya mengukir sejarah betapa beraninya anak negeri ini.
Jika kita mau jujur, mungkin Pecinta Alam adalah salah satu kelompok yang paling sering dipuji karena prestasinya, namun sebanyak itu pula hujatan yang kerap harus diterimanya.
Sangat tragis, prestasi pencapaian puncak Everest terpaksa harus disandingkan dengan sifat arogansi para Pecinta Alam, keberhasilan mendaki dinding vertikal Eiger, harus dikimpoikan dengan sejumlah tudingan penyebab kerusakan alam.
Peyusuran sungai Memberamo dipasangkan dengan korban-korban jiwa yang tidak perlu akibat kekonyolan dalam sistem pendidikan, maupun dalam setiap cerita-cerita petualangannya.
Nampaknya sudah menjadi takdir, bahwa pasangan dari keberhasilan tadi adalah dunia gelap dari Pecinta Alam itu sendiri.
Pada lembaga-lembaga pendidikan tertentu, beberapa kalangan yang mempunyai otoritas, sudah agak lama mengambil kuda-kuda untuk memasung, mengalienasi, memagari, menghentikan bahkan membubarkan kelompok Pecinta Alam yang ada dalam wilayah kekuasaannya.
Pembenaran argumentatif bahwa kelompok ini arogan, susah diatur, mau menang sendiri, biang kerok dan tukang cari masalah, dll., seringkali menjadi semacam bom waktu, yang ketika booom !!, maka terpaksa kelompok ini bubar, atau paling banter berubah menjadi kelompok umum yang independen.
Cerita ini sudah menjadi sedemikian klasik untuk kita dengarkan, namun hasil simakan kita ini bukanlah cerita bohong, karena fakta banyak kelompok terutama dikalangan sekolah menengah, sudah banyak yang menjadi korbannya, seraya menghapus usaha tak kenal lelah dari pendahulunya, yang berusaha agar kelompok Pecinta Alam dapat diterima sebagai kegiatan ekstra kurikuler di sekolah tadi.
Sayang memang hal itu kerap terjadi, namun lebih disayangkan lagi ketika hal itu terjadi justru akibat kerancuan informasi serta kurang berjalannya sistem komunikasi antara siswa / anggota pegiat kegiatan alam bebas, dengan pihak pembina dan kepala sekolahnya.
Kasus-kasus ini menyebar dengan merata secara isotropik di seluruh belahan negeri, dengan model yang sangat tipikal, yaitu ketidak-mengertian, ketidak ingin-tahuan, dan ketidak-mauan untuk mengalah, serta masing-masing pihak bertahan dengan sikap-sikap arogansinya, dan banyak yang memilih bercerai daripada mencari bentuk solusi yang bersifat win-win.
Seperti yang telah dirumuskan dalam kongres ke II Forum Komunikasi Keluarga Besar Pecinta Alam se Bandung Raya ( FK-KBPA-BR ), tahun 2002, di Batu Kuda, Gn. Manglayang Kab. Bandung, maka ditetapkan definisi Pecinta Alam menurut FK KBPA BR, yaitu sbb :
"Sekelompok manusia, yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, terdidik, bertanggung-jawab, dan bertujuan untuk menjaga serta memelihara alam"
Sebelum kita memasuki proses interprestasi dari definisi Pecinta Alam diatas, maka sebaiknya terlebih dahulu memahami konsep filosofis yang mendasari definisi Pecinta Alam diatas. Hal ini sangat diperlukan, dihubungkan dengan aspek pendekatan serta penyamaan persepsi awal, agar tidak terjadi kesalah pahaman atau mis-persepsi terhadap definisi tersebut, baik dalam kerangka arti maupun nilai-nilai yang terkandung didalamnya.
Aspek Pendekatan dimaksud adalah :
Konsep kebenaran bertingkat
- K1=agama
- K2=kolektif/rasa / intuisi
- K3=logika/ilmu
- K4= fakta / data empirik)
Azas tatadiri universal, hidup dan alam adalah :
- Kesepakatan
- Kesaling-hubungan
- Pertukaran
- Keseimbangan dinamis
- Totalitas diri
Holistik dan Sistemik / nilai-sistem Pandangan integratif atau secara utuh dan menyeluruh, dengan menyertakan nilai-nilai kesisteman, dimana nilai tadi ditentukan secara otonom oleh sistem yang bersangkutan.
Fungsi Totalitas :
Cinta Alam adalah identik dengan cinta diri, karena cinta diri adalah model bagi diri kita untuk mencintai mahluk yang lainnya, termasuk seluruh penghuni alam semesta.
INTERPRESTASI DEFINISI DALAM FUNGSI TURUNAN / BAGIANNYA :
1. Sekelompok manusia.
Azas tatadiri universal Sekumpulan manusia yang berarti bukan perseorangan, melainkan senantiasa berupa kelompok manusia (orang) atau sebuah sistem, dengan nilai-nilai yang khas serta esensiel dalam sistem tersebut (kelompok manusia tadi), sehingga dalam pengertian ini, pecinta alam bukan lagi berupa individu layaknya awalan pe dalam kata pecinta-alam, melainkan sebuah sistem nilai ke-pecinta alaman itu sendiri. Selaku sebuah wacana, nilai-nilai tadi erat kaitannya dengan azas-azas sistem tatadiri dalam konsep pendekatan diatas.
2. Yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Memelihara komunikasi, kebutuhan ilmu dan tujuan hakikat /substansialnya Pengertian takwa, dalam rumusan dari Alm Prof Hamka, adalah senantiasa memelihara hubungan dengan Allah, dimana fungsi serta aktifitas pemeliharaan akan senantiasa membutuhkan ilmu, namun ilmu tersebut semata-mata ditujukan hanya dalam konteks untuk memelihara hubungan komunikasi dengan Allah saja, dan bukan yang lain, apalagi dijadikan alat untuk takabur diri, machoisme-jagoan, dll.
Layaknya untuk memelihara perdamaian dunia, maka dibutuhkan ilmu berperang, ilmu membuat senjata, dll., dan untuk memelihara bayi dibutuhkan ilmu gizi, psikologi anak balita, dll. Takwa dan keimanan, dalam hal ini tidak pernah terlepas dari keilmuan, sehingga tolabul ilmi (mencari ilmu) mejadi wajib hukumnya, sehingga penguasaan keilmuan sekaligus mejadi tolok ukur ketakwaan dan keimanan, selama pencarian dan penguasaan atas ilmu, semata-mata hanya ditujukan untuk memelihara komunikasi dengan Tuhan saja.
3. Terdidik.
Sistem, proses dan jenjang pendidikan Terdidik, dalam pengertian telah melalui proses pembinaan-pendidikan dan pelatihan berjenjang, dengan kurikulum yang sesuai serta relevan dengan dunia kepecinta-alaman itu sendiri.
Proses pendidikan serta jenjang yang akan ditempuh setidaknya akan mencakup suatu proses sbb :
Ø Klasifikasi bakat dan minat
Ø Penyamaan persepsi dengan memberikan dasar-dasar keilmuan dan penghayatannya
Ø Meningkatkan tingkat kualifikasi diri, melalui sejumlah upaya-upaya tambahan selain pendidikan standard (enrichment) seperti adanya ekspedisi dll.
Ø Pada akhirnya seseorang akan mempunyai tingkat kompetensi yang diakui oleh lingkungannya.
Ø Kompetensi akan membat seseorang sah mendapatkan posisi yang diakui / eksistensi
Ø Posisi tadi akan memberinya sebuah gambaran pemandangan atau sebuah visi kedepan, baik dalam tinjauan sektoral (sudut pandang) maupun paradigmanya (cara-pandang).
Ø Visi akan melahirkan misi, suatu tindakan yang harus diambil dalam kerangka yang sangat global dan bersifat kualitatif.
Ø Visi dirimuskan dalam bentuk Rencana-rencana, seperti rencana strategis, rencana taktis, rencana teknis, sebelumnya akhirnya program, serta implementasi aplikatif ditingkat lapangan.
4. Bertanggung-jawab.
Cinta dan komitmen Bertanggung jawab dalam pengertian yang paling mendasar adalah melakukan apa yang menjadi komitmennya, secara konsisten dan konsekwen.
Dihubungkan dengan konsep cinta, yang setidaknya harus memiliki kualitas-kualitas : ketertarikan secara fisik-gairah-passion, adanya rasa intim kedekatan percaya, dan komitmen, atau siap bertanggung jawab serta rela berkorban dengan dengan seluruh resikonya, sebagai sebuah konsekwensi logis.
5. Tujuan.
Azas manfaat dan konsep kesadaran Sebagai sebuah kesadaran, maka konsekwensi dari kesadaran, haruslah tetap mengacu kemasa depan, atau lebih tepatnya adalah , manfaat apa yang mampu saya berikan dimasa yang akan datang.
Dengan acuan manfaat dimasa yad. tadi, maka konsekwensi logisnya adalah persiapan yang harus dilakukan saat ini, sehingga manfaat tadi dapat dipetik Yang harus dihindari adalah anti-kesadaran, dimana kesadaran kita melakukan pembenaran (bukan kebenaran), atas ketidak berdayaan dan ketidak mampuan diri pada saat ini, karena adanya tragedi/trauma dimasa lampau. Dalam kacamata nilai, dihadapan Tuhan, manusia yang paling berarti dihadapan-Nya adalah mereka yang ber-manfaat bagi lingkungan di sekelilingnya, sehingga azas manfaat dalam konsep tujuan menjadi sebuah keniscayaan.
6. Menjaga.
Machois, logis, reduksionis, parsialis, analitis Menjaga adalah tugas laki-laki dengan sifat-sifat kelelakiannya, seperti menggunakan daya nalar, memecah /reduksionis, penelitian fragmentasi / parsialis, dengan menggunakan daya analisa, yang kadang disertai dengan sifat-sifat ekspansif - eksploitatif.
7. Memelihara.
Feminis ekologis, intuitif, integratif, sintesis Memelihara adalah tugas dan fungsi dari sifat-sifat kewanitaan, seperti menggunakan daya intuisi serta rasa, berfikir integratif, memberdayakan aspek sintesa, dan lebih menekankan pada konsep ekologis yang damai, ramah dan bersifat alamiah (eco-labelling).
8. Alam.
Kesatuan macro dan micro cosmos serta kesisteman. Dalam hal ini tinjauan alam bukan dalam pengertian yang sempit, seperti hanya sebatas tataran apa yang mampu kita simak dengan panca indera saja, namun terlebih jauh, alam tersebut mampu dikembangkan dari micro sampai dengan makro kosmos, sebagai sebuah tataran alam bertingkat, dan alam manusia berada secara integratif didalamnya.
Alam manusia, bukan alam yang terpisah, dan konsep ruang (dalam ruang dan waktu / space-time continuum), bukanlah wadah, melainkan ruang itu adalah alam itu sendiri, sehingga tidak ada pemisahan signifikan antara ruang dan isinya, melainkan keduanya bergabung dalam ujud alam. Karenanya, mencintai alam, adalah mencintai dirinya sendiri, karena pengertian alam sudah menckup ruang dan isinya , yaitu manusia itu sendiri. Konsekwesi logis dari aturan ini adalah, mencintai alam identik dengan mencintai diri sendiri, dan konsep cinta-diri ini yang akan menjadi model bagi cinta-alam atau cinta-sesama.
Seorang pecinta alam tidaklah mungkin seseorang yang mampu untuk menganiaya dirinya sendiri, karena sebelum seseorang mampu mencintai yang lainnya, maka dia membutuhkan model, yaitu cinta diri, sehingga semua bentuk aniaya diri, tidaklah menjadi sah atau valid, dalam kerangka model cinta-alam yang identik dengan cinta-diri, sekaligus sebagai perujudan dari eksistensi dan fungsi totalitas-diri.
(Disunting Dari Buku Intersection - Yayat Lessie, Unpublish)
Sumber: https://m.kaskus.co.id/thread/000000000000000015206124/perpustakaan-pecinta-alam-dan-penggiat-ruang-terbuka
0 komentar:
Posting Komentar