Mengenai Saya

Foto saya
malino, Gowa Sulsel, Indonesia
Selamat Datang di Blog Kpa Spala Gowa. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Deskripsi dan Interprestasi Kode Etik Pecinta Alam

Isi yang termaktub dalam Kode Etik Pecinta Alam, yang dirumuskan pada tahun 1974, pada kegiatan Gladian Nasional di Makasar, yaitu sbb :

1. Mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Memelihara Alam beserta isinya, serta menggunakan sumber sesuai dengan kebutuhan.
3. Menghormati tata kehidupan yang berlaku pada masyarakat sekitarnya serta menghargai manusia dengan kerabatnya.
4. Mengabdi pada Bangsa dan Tanah-Air.
5. Berusaha memperkuat tali persaudaraan antar Pecinta Alam, dengan azas Pecinta Alam.
6. Berusaha saling membantu serta saling menghargai dalam pelaksanaan pengabdian terhadap Tuhan, Bangsa dan Tanah-Air.


INTERPRESTASI.

1. Mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Tidak lain dan tidak bukan, tujuan hidup kita dimuka bumi ini adalah dalam konsep untuk senantiasa mengabdi pada Allah, selaku hamba-hamba-Nya yang tunduk dan patuh pada hukum-hukum-Nya, atau sunatullah.

Pengabdian yang dilakukan atas dasar ketakwaan, dimana arti takwa bukan sebatas menghindari apa-apa yang dilarang-Nya, serta mengikuti apa yang disuruh-Nya semata, namun dalam pengertian yang lebih jauh lagi. Konsep pengabdian dalam kerangka takwa adalah, untuk senantiasa menjaga dan memelihara hubungan komunikasinya dengan Allah, karena hal itu merupakan pokok pijakannya yang utama dari konsep keimanan dalam dirinya.

Manusia dengan seluruh perangkat, peringkat serta predikat yang dimilikinya, hanya bersifat entitas relatif didepan Tuhan, dan seringkali tak bernilai apa-apa, kecuali manusia tadi mempunyai tingkat keimanan dan ketakwaan pada-Nya.

Entitas mutlak didepan Tuhan dari seorang manusia adalah hanya derajat keimanan dan ketakwaannya, dan kelak hal itu pula yang akan menentukan derajat sesungguhnya seorang manusia didepan Tuhannya. Pengabdian dalam konteks ketakwaan, adalah menjaga dan memelihara hubungan, dimana untuk menegakkan tali hubungan tadi dibutuhkan sejumlah sarana, termasuk sistem kesadaran, ilmu dan pengetahuan.


2. Memelihara Alam beserta isinya, serta menggunakan sumber sesuai dengan kebutuhan.

Manusia diciptakan Tuhan dengan sebuah tujuan, yaitu menjadi khalifah dimuka bumi, dan rencana ini sudah digariskan bahkan ketika Adam AS diciptakan dalam surga. Sebagai bekal maka Adam AS diajarkan Allah berbagai hal mengenai alam semesta ini, yang kemudian di test oleh para malaikat dan merekapun hormat atas kemampuan Adam AS dalam menjawab berbagai pertanyaan para malaikat tadi. Adam dan keturunannya adalah khalifah, yang artinya setiap manusia telah dibekali Allah potensi yang sama seperti yang dimiliki oleh Adam ini, layaknya seorang khalifah yang bijak, maka faktor menjaga amanah / titipan adalah sebagai sesuatu yang harus diprioritaskan, yaitu menjaga dan memelihara alam semesta beserta isinya ini.

Seperti yang kita ketahui, manusia diciptakan oleh Allah dari saripati tanah, atau menjadi anak-anak asuh dari bumi yang merupakan ibu susu mereka, yang dibesarkan untuk menjadi putra-putra mahkota kekhalifahan di alam semesta ini. Bumi adalah ibu yang jujur dan sabar, yang mengajari anak-anak susunya untuk belajar mandiri, seraya menerima energinya untuk meningkatkan kekuatan, kepandaian, kecerdasan, dan kebijakan kesadarannya.

Seperti ibu kandung kita sendiri yang dengan sabar menyusui anak-anaknya, beliau tidak mengeluh ketika air susunya dihisap oleh bayinya, karena beliau tahu, betapa fungsi ASI selain memberikan kehidupan juga kesehatan dan kesejahteraan hidup dimasa yang akan datang. Layaknya seorang bayi pula, dia akan menghisap sebatas secukupnya yaitu ketika perutnya sudah kenyang maka diapun berhenti menghisap, sekalipun mungkin ASI ibu masih banyak, namun seorang bayi tahu sampai dimana tingkat kebutuhannya, dan dia hanya mengambil sebatas kebutuhannya tersebut tidak kurang dan tidak lebih.


3. Menghormati tata kehidupan yang berlaku pada masyarakat sekitarnya serta menghargai manusia dengan kerabatnya.

Diantara sejumlah anugerah yang diberikan Allah pada kita adalah hidup, akal dan agama, dan kewajiban manusia untuk senantiasa menghargai serta mempertahankan anugerah tadi, sekaligus sebagai tanda syukur nikmat manusia kepada Tuhannya. Kehidupan adalah anugerah, dan bahkan Tuhanpun siap dengan anomali atau penyimpangan dari hukumnya (sunatullah), demi untuk mempertahankan kehidupan mahluk-Nya ini.
Pernahkah terpikirkan, bahwa setiap materi ketika dibekukan maka dia akan lebih berat dibandingkan dengan zat sebelumnya ?. Zat yang membeku, baik yang asalnya gas maupun cairan, ketika membeku dan mengeras menjadi padat, maka dia akan lebih berat dari saat dia pada kondisi gas atau cairan, kecuali air !.

Air adalah anomali atau penyimpangan dari hukum tadi, karena air ketika dibekukan menjadi es, justru menjadi lebih ringan sehingga mengambang diatas permukaan air. Mampukah kita bayangkan, jika Tuhan memberlakukan hukum yang sama terhadap air, yaitu es tenggelam dalam air, dan akibatnya niscaya seluruh kehidupan bawah laut di kutub-kutub bumi pada saat musim dingin akan mati dan punah, karena tergencet oleh balok es yang tenggelam sampai kedasar.


4. Mengabdi pada Bangsa dan Tanah-Air.

Dimana bumi dipijak disana langit kita junjung, menyiratkan loyalitas sekaligus rasa syukur terhadap sebuah fondamen ideologis yang selama ini telah mendukung bangunan ujud integritas diri kita sendiri sebagai seorang anak bangsa ini. Bangsa dan tanah air menggambarkan suatu bentuk hubungan primordial antara manusia dengan bumi yang dipijaknya, dan langit yang dijunjungnya, atau dalam konteks sebuah kawasan dimana kita berada, serta konsep kebangsaan dimana aspek wawasan ditanamkan.

Dengan menghilangkan konsep kebangsaan dan tanah airnya, maka kita akan kehilangan identitas diri sebagai sebuah pelaku sejarah dalam derap peradaban yang dibangun oleh umat manusia.

Pada saat yang sama, kita juga akan mengalami degradasi integritas diri, dimana bangunan kesadaran kita pada sejarah primordial kita, hanya tinggal reruntuhan puing-puing memori, yang kadang tanpa makna atau cuma meninggalkan sepercik arti saja.

Mengabdi pada bangsa dan tanah air adalah sebuah manifestasi bahwa kita mempunyai akar sejarah, mempunyai jangkar yang cukup dalam terbenam dalam lautan peradaban dan budaya manusia, dimana kehilangan hal itu akan membuat kita menjadi gamang karena kehilangan ciri dan arti diri, seraya diombang-ambing dan dihempaskan oleh badai tantangan jamannya. Mengabdi pada bangsa dan tanah air, bukan hanya dipandang bagi kepentingan bangsa dan tanah air itu sendiri, namun secara hakikat adalah kita tengah mengabdi pada diri sendiri, karena bangsa itu adalah diri kita dan tanah air itu adalah saripati tanah, dimana asal ujud kita diciptakan. Menghianati bangsa dan tanah air, adalah berkhianat pada diri kita sendiri, yang secara perlahan dari bawah sadar muncul kekuatan negatip bagaikan monster yang mengancam, yaitu benci diri.

Benci diri adalah sumber penyakit manusia yang utama, sementara cinta diri adalah sumber kekuatan atau vitalitas diri, dimana menghargai dan mencintai diri sendiri akan menumbuhkan pemahaman tentang daya tarik diri, yang akan berujung pada adanya konsep harga diri.
Harga diri selaku individu jika dipelebar kedalam skala kelompok besar adalah kehormatan bangsa, atau kebanggaan atas bangsanya, lengkap dengan sejarah masa lampaunya, serta cita-cita kebangsaannya yang akan dijelmakan pada masa yang akan datang.

Bentuk pengabdian pada kelompok adalah juga pengabdian pada dirinya sendiri selaku anggota kelompok, sehingga manfaat secara kolektif maupun individual, secara langsung akan terasa. Pengabdian juga merupakan bentuk rasa syukur kita pada Sang Pencipta, dimana dengan adanya entitas primordial kita itu, maka kita tidak akan hilang tergerus oleh gemuruhnya peradaban global.

5.. Berusaha memperkuat tali persaudaraan antar Pecinta Alam, dengan azas Pecinta Alam.

Hawa atau dorongan kecenderungan dari nafsu manusiawi adalah membuat jarak, atau adanya ruang pemisah antara dirinya dengan apapun disekitarnya. Nafsu membuat ruang, semata-mata demi kebutuhan sang nafsu untuk menujuk dirinya sendiri secara jujur, seraya menetapkan dirinya sebagai entitas mandiri dalam proses individualisasi.

Namun hawa nafsu justru membuat jarak dalam ruang tadi, sehingga pemisahan, keterpisahan (separateness) dan parsialisasi merupakan konsekwensi logis yang terjadi akibat adanya jarak tadi. Nafsu menolak rasa sakit dan mencari kesenangan semata, sekalipun cuma untuk kesenangan sesaat saja, dan bertanggung-jawab adalah sakit dan sama sekali tak menyenangkan, sehingga cenderung untuk ditolak.

Untuk menghilangkan tanggung-jawab atas dirinya, maka dia memecah dirinya sendiri, seraya pecahan-pecahan dari dirinya tadi dia serahkan pada pihak-pihak lain untuk dipertanggung-jawabkan.

Kesehatan adalah tanggung jawab dokter, kejiwaan adalah tanggung jawab psikolog, moralnya adalah tanggung jawab ustad atau pendeta, intelektualnya adalah tanggung jawag guru atau dosen, dan semua bagian dirinya dibagikan. Akhirnya dia samasekali tidak menyisakan sepotongpun bagian dari dirinya sendiri, dan oleh karenanya dia merasa sah untuk berpendapat bahwa dia tidak bertanggung jawab atas dirinya sendiri, karena tanggung jawab yang menyakitkan itu, sudah habis dibagikan pada pihak lain.

Dia bahkan tidak memiliki dirinya sendiri, karena dengan dirinya sendiripun sudah terbentang sebuah jarak. Serpihan dirinya yang dimiliki pihak lain, membuat dia melepaskan tanggung-jawab atas dirinya, dan itu membuat nafsunya terbebaskan dari rasa bertanggung-jawab yang menyakitkan.
Namun ketika dia tidak lagi memiliki dirinya sendiri, bahkan justru jarak-jarak yang tercipta, perlahan namun pasti menimbulkan bentuk kesakitan baru, yaitu dia merasa diasingkan, terasingkan, bahkan asing pada dirinya sendiri, yang tidak pernah dimilikinya. Padahal pada awal manusia hidup, maupun kelak saat menjemput kematian, kita lahir sendiri dan matipun akan sendiri pula, tanpa kawan dan sanak saudara, seolah kita menjadi terasingkan.

Pelajaran manusia akan keterasingan ini, seharusnya membuat mereka justru untuk lebih memahami konsep kebersamaan, karena fakta bahwa penyakit manusia yang utama muncul saat manusia merasa diasingkan (alienasi) oleh lingkungannya, bahkan oleh dirinya sendiri.
Kebersamaan adalah jalan positip menuju kesehatan jiwa dan kepribadian kita, dan proses awalnya dimulai dengan tidak memecah diri dan mengasingkannya, namun justru mengumpulkan semua pecahan tadi, menyatukannya dalam konsep ujud diri yang utuh, dan mencoba untuk belajar bertanggung jawab atas dirinya oleh dirinya sendiri.

Kita yang mengambil tampuk kemudi atas diri kita sendiri, dan diri kita adalah sesuatu yang utuh tidak terpisah-pisah, yang mempunyai identitas dan integritas diri. Manakala ujud diri yang utuh sudah terbentuk, dan kita secara sadar tidak lagi membagi diri, dan membuat jarak dengan diri sendiri, bahkan dengan berani mengambil tanggung-jawab atas keseluruhan diri kita, maka dimulailah suatu proses sadar, untuk menghilangkan jarak dengan sesuatu yang lain, diluar diri kita.

Sesuatu yang lain itu yang pertama-tama adalah saudara kita sesama Pecinta Alam, dimana kita disatukan antara satu dan yang lainnya oleh ikatan kesadaran kolektif yang sama, yaitu kecintaan terhadap alam yang kita tinggali ini, dan rasa kasih sayang pada bumi, ibu susu kita sendiri. Kesadaran kolektif yang sama, juga akan menumbuhkan benih rasa sayang, yang tergambarkan dalam ikatan persaudaraan secara tulus, iklas, dan yang pasti adalah bersifat alamiah, tanpa usah dengan tambahan polesan artifisial yang seringkali menipu.

Persaudaraan yang dibangun dalam wacana kegiatan di alam terbuka umumnya jauh lebih alamiah, sehingga tidak heran jika diantara sesama Pecinta Alam dengan cepat tumbuh keakraban dan kehangatan yang jarang dimiliki oleh persaudaraan antar kelompok yang lain.
Seringkali persaudaraan ini sedemikian kental, sehingga ketika salah seorang Pecinta Alam tersesat digunung, maka dengan serempak para Pecinta Alam berdatangan dari segenap penjuru belahan tanah air untuk ikut membantu mencari rekannya.

Seorang rekan yang bukan saudara, bahkan tidak dikenalnya secara pribadi, namun ketika mereka adalah sesama Pecinta Alam, maka untuk menemukan dan menyelamatkan hidup mereka yang hilang, maka keamanan diripun dipertaruhkan dengan iklas.

Betapa banyak operasi SAR yang memakan tenaga beratus orang Pecinta Alam selama berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan kadang lebih dari sebulan, mereka tinggal di base-camp atau pada team-team flying-camp dipelosok rimba, dengan tujuan semata menemukan korban secepatnya, agar jiwa mereka tertolong.

SAR ( Search and Rescue) adalah pengejawantahan dari rasa persaudaraan tadi, yang tidak dimiliki oleh kelompok lainnya, sehingga jiwa militan mereka sudah terlatih dan teruji dengan sendirinya, dan semuanya dikemas dalam sebuah konsep persaudaraan diantara sesama pecinta alam serta kerabat manusia yang lainnya.


6. Berusaha saling membantu serta saling menghargai dalam pelaksanaan pengabdian terhadap Tuhan, Bangsa dan Tanah-Air.
Pengabdian adalah muara dari aliran sungai kepecinta-alaman, yang akhirnya akan terjun lepas pada samudera kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan tujuan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya, baik pada lingkungan terkecil keluarga, maupun sampai dengan yang terbesar, yaitu skala ummat manusia.

Pengabdian yang paling utama adalah pada Tuhan, yang sepenuhnya didasari oleh rasa cinta yang tulus dan iklas, dan dengan basis cinta Tuhan tadi maka dibangun pula cinta bangsa serta cinta negara.

Rasa cinta yang bersifat idealistik abstrak memerlukan implementasi yang terkuantifikasi secara jelas, dan untuk itu diturunkan kedalam bentuk pengabdian, yaitu berupa program-program aplikatif yang relevan dengan dunia kepecinta-alaman. Adalah hal yang wajar jika setiap individu atau setiap kelompok Pecinta Alam di tanah air mempunyai obsesi atau keinginan untuk mengabdi pada agama, bangsa dan negaranya.
Sementara bentuk program pengabdian itu seringkali diwarnai oleh latar belakang kelompok itu sendiri, sehingga seringkali secara teknis bersifat sangat sektoral.

Pecinta alam dengan aneka ragam latar belakang kelompok, jenis pendidikan, sektor penguasaan, dll., membuat pengayaan program-program ini, dimulai dari peduli bencana alam, penghijauan lahan gundul, operasi SAR dan operasi kemanusiaan lain, pembuatan desa binaan, penelitian ilmiah dari berbagai sudut pandang dan disiplin keilmuan atas suatu wilayah, dll.
Semuanya adalah semata demi pengabdian pada tanah air yang dicintainya, yang sejak awal telah menjadi doktrin pokoknya, dan merupakan sumber inspirasional dari sikap militan serta energi vitalitas yang dikandungnya.

Namun demikian, seringkali juga kita mendapatkan fakta, antara cita-cita dan kemampuan tidaklah sebanding dihubungkan dengan sarana dan prasarana yang tersedia, sehingga hanya dengan uluran tangan sesama rekan saja, maka program-program tadi dapat dilaksanakan, dengan konsep saling membantu, menambal kebocoran, memperkuat kelemahan, dan menyediakan hal-hal yang tidak dapat diadakannya.

Kita sepenuhnya sadar bahwa siapapun itu, baik individu maupun kelompok pasti mempunyai sejumlah potensi kekuatan diri, namun juga mempunyai segi-segi kelemahan serta keterbatasannya.

Sumber: https://m.kaskus.co.id/thread/000000000000000015206124/perpustakaan-pecinta-alam-dan-penggiat-ruang-terbuka

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Definisi dan Interprestasi Pecinta Alam


Lebih dari 38 tahun lewat sudah, dimulai sejak dipancangkannya bendera pertama Pecinta Alam di tanah air ini, yang dipelopori di Bandung oleh kelompok Pendaki Gunung dan Penempuh rimba Wanadri, dan 3 bulan kemudian di Universitas Indonesia dengan kelompok Mapala UI - nya.
Saat ini, kepeloporan mereka telah diikuti oleh ribuan organisasi Pecinta Alam lain yang tersebar diseluruh pelosok tanah air, baik ditingkat Sekolah Menengah, Universitas maupun dari kalangan umum.

Entah berapa ratus ribu, total anggota dari seluruh kelompok ini, dimana dengan semangat berpetualang mengembangkan hobynya untuk mendaki gunung, menempuh rimba, mengarungi jeram, menyisir pantai, maupun memasuki goa terdalam, kelompok Pecinta Alam sudah menunjukan eksistensinya.

Sejak tahun 1974, Kode Etik Pecinta Alam secara aklamasi diterima sebagai visi normatif bagi setiap Kelompok Pecinta Alam, tepatnya pada saat Gladian ke IV di Makassar.

Kelompok maupun individu Pecinta Alam yang sejak lama dikenal dengan semangat dan militansinya, sudah lama pula diketahui ikut mengharumkan nama bangsa dalam berbagai kegiatan fenomenal, entah yang bersifat pengabdian sosial, penanggulangan akibat bencana, bahkan sampai prestasi-prestasi monumental.

Kita sama-sama mencatat, satu demi satu puncak-puncak gunung tertinggi, aliran sungai-sungai terderas, gua-gua terdalam, pantai-pantai terpanjang, dinding-dinding cadas menjulang, berhasl dilewati, seraya mengukir sejarah betapa beraninya anak negeri ini.

Jika kita mau jujur, mungkin Pecinta Alam adalah salah satu kelompok yang paling sering dipuji karena prestasinya, namun sebanyak itu pula hujatan yang kerap harus diterimanya.

Sangat tragis, prestasi pencapaian puncak Everest terpaksa harus disandingkan dengan sifat arogansi para Pecinta Alam, keberhasilan mendaki dinding vertikal Eiger, harus dikimpoikan dengan sejumlah tudingan penyebab kerusakan alam.
Peyusuran sungai Memberamo dipasangkan dengan korban-korban jiwa yang tidak perlu akibat kekonyolan dalam sistem pendidikan, maupun dalam setiap cerita-cerita petualangannya.

Nampaknya sudah menjadi takdir, bahwa pasangan dari keberhasilan tadi adalah dunia gelap dari Pecinta Alam itu sendiri.

Pada lembaga-lembaga pendidikan tertentu, beberapa kalangan yang mempunyai otoritas, sudah agak lama mengambil kuda-kuda untuk memasung, mengalienasi, memagari, menghentikan bahkan membubarkan kelompok Pecinta Alam yang ada dalam wilayah kekuasaannya.

Pembenaran argumentatif bahwa kelompok ini arogan, susah diatur, mau menang sendiri, biang kerok dan tukang cari masalah, dll., seringkali menjadi semacam bom waktu, yang ketika  booom !!, maka terpaksa kelompok ini bubar, atau paling banter berubah menjadi kelompok umum yang independen.

Cerita ini sudah menjadi sedemikian klasik untuk kita dengarkan, namun hasil simakan kita ini bukanlah cerita bohong, karena fakta banyak kelompok terutama dikalangan sekolah menengah, sudah banyak yang menjadi korbannya, seraya menghapus usaha tak kenal lelah dari pendahulunya, yang berusaha agar kelompok Pecinta Alam dapat diterima sebagai kegiatan ekstra kurikuler di sekolah tadi.

Sayang memang hal itu kerap terjadi, namun lebih disayangkan lagi ketika hal itu terjadi justru akibat kerancuan informasi serta kurang berjalannya sistem komunikasi antara siswa / anggota pegiat kegiatan alam bebas, dengan pihak pembina dan kepala sekolahnya.

Kasus-kasus ini menyebar dengan merata secara isotropik di seluruh belahan negeri, dengan model yang sangat tipikal, yaitu ketidak-mengertian, ketidak ingin-tahuan, dan ketidak-mauan untuk mengalah, serta masing-masing pihak bertahan dengan sikap-sikap arogansinya, dan banyak yang memilih bercerai daripada mencari bentuk solusi yang bersifat win-win.

Seperti yang telah dirumuskan dalam kongres ke II Forum Komunikasi Keluarga Besar Pecinta Alam se Bandung Raya ( FK-KBPA-BR ), tahun 2002, di Batu Kuda, Gn. Manglayang Kab. Bandung, maka ditetapkan definisi Pecinta Alam menurut FK KBPA BR, yaitu sbb :

 "Sekelompok manusia, yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, terdidik, bertanggung-jawab, dan bertujuan untuk menjaga serta memelihara alam"
.

Sebelum kita memasuki proses interprestasi dari definisi Pecinta Alam diatas, maka sebaiknya terlebih dahulu memahami konsep filosofis yang mendasari definisi Pecinta Alam diatas. Hal ini sangat diperlukan, dihubungkan dengan aspek pendekatan serta penyamaan persepsi awal, agar tidak terjadi kesalah pahaman atau mis-persepsi terhadap definisi tersebut, baik dalam kerangka arti maupun nilai-nilai yang terkandung didalamnya.
Aspek Pendekatan dimaksud adalah :
Konsep kebenaran bertingkat
- K1=agama
- K2=kolektif/rasa / intuisi
- K3=logika/ilmu
- K4= fakta / data empirik)

Azas tatadiri universal, hidup dan alam adalah :
- Kesepakatan
- Kesaling-hubungan
- Pertukaran
- Keseimbangan dinamis
- Totalitas diri

Holistik dan Sistemik / nilai-sistem Pandangan integratif atau secara utuh dan menyeluruh, dengan menyertakan nilai-nilai kesisteman, dimana nilai tadi ditentukan secara otonom oleh sistem yang bersangkutan.


Fungsi Totalitas :
Cinta Alam adalah identik dengan cinta diri, karena cinta diri adalah model bagi diri kita untuk mencintai mahluk yang lainnya, termasuk seluruh penghuni alam semesta.

INTERPRESTASI DEFINISI DALAM FUNGSI TURUNAN / BAGIANNYA :

1. Sekelompok manusia.

Azas tatadiri universal Sekumpulan manusia yang berarti bukan perseorangan, melainkan senantiasa berupa kelompok manusia (orang) atau sebuah sistem, dengan nilai-nilai yang khas serta esensiel dalam sistem tersebut (kelompok manusia tadi), sehingga dalam pengertian ini, pecinta alam bukan lagi berupa individu layaknya awalan pe dalam kata pecinta-alam, melainkan sebuah sistem nilai ke-pecinta alaman itu sendiri. Selaku sebuah wacana, nilai-nilai tadi erat kaitannya dengan azas-azas sistem tatadiri dalam konsep pendekatan diatas.
2. Yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Memelihara komunikasi, kebutuhan ilmu dan tujuan hakikat /substansialnya Pengertian takwa, dalam rumusan dari Alm Prof Hamka, adalah senantiasa memelihara hubungan dengan Allah, dimana fungsi serta aktifitas pemeliharaan akan senantiasa membutuhkan ilmu, namun ilmu tersebut semata-mata ditujukan hanya dalam konteks untuk memelihara hubungan komunikasi dengan Allah saja, dan bukan yang lain, apalagi dijadikan alat untuk takabur diri, machoisme-jagoan, dll.

Layaknya untuk memelihara perdamaian dunia, maka dibutuhkan ilmu berperang, ilmu membuat senjata, dll., dan untuk memelihara bayi dibutuhkan ilmu gizi, psikologi anak balita, dll. Takwa dan keimanan, dalam hal ini tidak pernah terlepas dari keilmuan, sehingga tolabul ilmi (mencari ilmu) mejadi wajib hukumnya, sehingga penguasaan keilmuan sekaligus mejadi tolok ukur ketakwaan dan keimanan, selama pencarian dan penguasaan atas ilmu, semata-mata hanya ditujukan untuk memelihara komunikasi dengan Tuhan saja.

3. Terdidik.
Sistem, proses dan jenjang pendidikan Terdidik, dalam pengertian telah melalui proses pembinaan-pendidikan dan pelatihan berjenjang, dengan kurikulum yang sesuai serta relevan dengan dunia kepecinta-alaman itu sendiri.

Proses pendidikan serta jenjang yang akan ditempuh setidaknya akan mencakup suatu proses sbb :
Ø Klasifikasi bakat dan minat
Ø Penyamaan persepsi dengan memberikan dasar-dasar keilmuan dan penghayatannya
Ø Meningkatkan tingkat kualifikasi diri, melalui sejumlah upaya-upaya tambahan selain pendidikan standard (enrichment) seperti adanya ekspedisi dll.
Ø Pada akhirnya seseorang akan mempunyai tingkat kompetensi yang diakui oleh lingkungannya.
Ø Kompetensi akan membat seseorang sah mendapatkan posisi yang diakui / eksistensi
Ø Posisi tadi akan memberinya sebuah gambaran pemandangan atau sebuah visi kedepan, baik dalam tinjauan sektoral (sudut pandang) maupun paradigmanya (cara-pandang).
Ø Visi akan melahirkan misi, suatu tindakan yang harus diambil dalam kerangka yang sangat global dan bersifat kualitatif.
Ø Visi dirimuskan dalam bentuk Rencana-rencana, seperti rencana strategis, rencana taktis, rencana teknis, sebelumnya akhirnya program, serta implementasi aplikatif ditingkat lapangan.

4. Bertanggung-jawab.
Cinta dan komitmen Bertanggung jawab dalam pengertian yang paling mendasar adalah melakukan apa yang menjadi komitmennya, secara konsisten dan konsekwen.

Dihubungkan dengan konsep cinta, yang setidaknya harus memiliki kualitas-kualitas : ketertarikan secara fisik-gairah-passion, adanya rasa intim  kedekatan percaya, dan komitmen, atau siap bertanggung jawab serta rela berkorban dengan dengan seluruh resikonya, sebagai sebuah konsekwensi logis.

5. Tujuan.
Azas manfaat dan konsep kesadaran Sebagai sebuah kesadaran, maka konsekwensi dari kesadaran, haruslah tetap mengacu kemasa depan, atau lebih tepatnya adalah , manfaat apa yang mampu saya berikan dimasa yang akan datang.

Dengan acuan manfaat dimasa yad. tadi, maka konsekwensi logisnya adalah persiapan yang harus dilakukan saat ini, sehingga manfaat tadi dapat dipetik Yang harus dihindari adalah anti-kesadaran, dimana kesadaran kita melakukan pembenaran (bukan kebenaran), atas ketidak berdayaan dan ketidak mampuan diri pada saat ini, karena adanya tragedi/trauma dimasa lampau. Dalam kacamata nilai, dihadapan Tuhan, manusia yang paling berarti dihadapan-Nya adalah mereka yang ber-manfaat bagi lingkungan di sekelilingnya, sehingga azas manfaat dalam konsep tujuan menjadi sebuah keniscayaan.

6. Menjaga.
Machois, logis, reduksionis, parsialis, analitis Menjaga adalah tugas laki-laki dengan sifat-sifat kelelakiannya, seperti menggunakan daya nalar, memecah /reduksionis, penelitian fragmentasi / parsialis, dengan menggunakan daya analisa, yang kadang disertai dengan sifat-sifat ekspansif - eksploitatif.

7. Memelihara.
Feminis ekologis, intuitif, integratif, sintesis Memelihara adalah tugas dan fungsi dari sifat-sifat kewanitaan, seperti menggunakan daya intuisi serta rasa, berfikir integratif, memberdayakan aspek sintesa, dan lebih menekankan pada konsep ekologis yang damai, ramah dan bersifat alamiah (eco-labelling).


8. Alam.
Kesatuan macro dan micro cosmos serta kesisteman. Dalam hal ini tinjauan alam bukan dalam pengertian yang sempit, seperti hanya sebatas tataran apa yang mampu kita simak dengan panca indera saja, namun terlebih jauh, alam tersebut mampu dikembangkan dari micro sampai dengan makro kosmos, sebagai sebuah tataran alam bertingkat, dan alam manusia berada secara integratif didalamnya.

Alam manusia, bukan alam yang terpisah, dan konsep ruang (dalam ruang dan waktu / space-time continuum), bukanlah wadah, melainkan ruang itu adalah alam itu sendiri, sehingga tidak ada pemisahan signifikan antara ruang dan isinya, melainkan keduanya bergabung dalam ujud alam. Karenanya, mencintai alam, adalah mencintai dirinya sendiri, karena pengertian alam sudah menckup ruang dan isinya , yaitu manusia itu sendiri. Konsekwesi logis dari aturan ini adalah, mencintai alam identik dengan mencintai diri sendiri, dan konsep cinta-diri ini yang akan menjadi model bagi cinta-alam atau cinta-sesama.

Seorang pecinta alam tidaklah mungkin seseorang yang mampu untuk menganiaya dirinya sendiri, karena sebelum seseorang mampu mencintai yang lainnya, maka dia membutuhkan model, yaitu cinta diri, sehingga semua bentuk aniaya diri, tidaklah menjadi sah atau valid, dalam kerangka model cinta-alam yang identik dengan cinta-diri, sekaligus sebagai perujudan dari eksistensi dan fungsi totalitas-diri.


(Disunting Dari Buku Intersection - Yayat Lessie, Unpublish)

Sumber: https://m.kaskus.co.id/thread/000000000000000015206124/perpustakaan-pecinta-alam-dan-penggiat-ruang-terbuka

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Pecinta Alam dalam Memaknai Slayer


Slayer, merupakan benda atau atribut yang tidak asing lagi bagi anggota organisasi pecinta alam. Sebab, benda ini yang selalu menemani dan melekat pada tubuh mereka, khususnya pada saat melaksanakan kegiatannya. Bahkan, sudah menjadi aturan agar atribut ini dipakai pada saat ada acara atau kegiatan penting, serta tidak diperbolehkan memakainya diluar kegiatan. Dan bagi yang melanggarnya, akan diberi sanksi atau hukuman.
Bagi sebagian orang, mungkin akan bertanya-tanya, apa sih slayer itu?, kenapa bisa sering menjadi sebab penghukuman bahkan sebab pengcabutan hak-hak  anggota organisasi dimana orang tersebut bergabung, kalau sampai salah dalam menempatkan atau menggunakannya.?
Slayer, berbentuk kain segitiga yang berukuran 1x1,5 m, bisa lebih besar atau kecil dan disudutnya terdapat logo atau lambang organisasi yang bersangkutan. Warnanya pun bisa  beragam, tergantung pilihan suatu organisasi yang akan memakainya.
Bagi seorang pecinta alam, slayer mempunyai nilai dan harga yang tak bisa diukur dengan uang dan materi atau dengan apapun. Karena untuk mendapatkannya, membutuhkan pengorbanan dan perjuangan keras yang menguras tenaga, fikiran dan mental. Padahal, slayer ini bisa didapatkan dengan mudah dimana saja, termasuk di pasar-pasar. Karena hanya dengan bermodalkan uang  kira-kira Rp 25.000 saja, sudah bisa didapatkan tanpa harus menguras tenaga dan fikiran. Tapi hal itu, tentu saja sangat jauh berbeda nilainya dengan mendapatkannya melalui pengorbanan dan perjuangan keras. Karena, yang menjadi tolak ukur bernilai tidaknya sesuatu, dilihat dari seberapa besar perjuangan dan pengorbanan untuk mendapatkan sesuatu itu.
Namun, seberapa berharga pun slayer itu, seseorang  yang ingin menjadi bagian dari organisasi pecinta alam, harus menyadari bahwa bukan itu yang menjadi tujuan utama atau ingin didapatkan ketika telah menjadi bagian dari organisasi. Karena, pada masa sekarang ini, fenomena yang terjadi di beberapa kalau enggang dikatakan semua organisasi pecinta alam, ketika melakukan pengkaderasasian, mereka menekankan kepada kader-kadernya agar slayer ini dijaga dan disimpan dengan baik, serta melarang diletakkan disembarang tempat, terutama di anggota badan bagian bawah.
Slayer ini, seakan-akan dianggap sebagai mahkota raja yang harus ditinggikan, dijaga dan disucikan. Yang membuat mereka (anggota organisasi pecinta alam) lupa, bahwa bukan cuma slayer saja yang harus dijaga dan disucikan. Banyak hal lain yang lebih utama atau lebih pantas dijaga dan disucikan, dan hal itu mempunyai peran penting untuk kesuksesan suatu organisasi, dibandingkan dengan slayer. Apakah slayer yang dianggap sebagai mahkota raja, ditinggikan dan disucikan mempunyai peran penting untuk keberhasilan atau kesuksesan suatu organisasi?. Rasa-rasanya tidak demikin!. Slayer, tidak lebih dari sekedar penghargaan yang dijadikan sebagai tanda seseorang telah resmi atau lulus menempuh proses Pendidikan dan Latihan Dasar (DIKLATSAR), selama beberapa hari atau minggu, bahkan bulan. Dan kemudian slayer tersebut dijadikan sebagai atribut dan dipakai pada saat menghadiri atau melakuakan acara-acara atau kegiatan-kegiatan yang dianggap penting.
Yang harus diutamakan anggota organisasi pecinta alam untuk dijaga, ditingikan dan disucikan adalah sifat dan sikapnya, baik  terhadap sesama manusia maupun terhadap  lingkungan alam bebas. Sifat dan sikap inilah yang memiliki peran penting untuk kesuksesan suatu organisasi. Karena kesuksesan suatu organisasi, berawal dari kesuksesan para penghuninya. Inilah tujuan dasar pelaksanaan Diklatsar bagi calon anggota organisasi pecinta alam. Diberikan bimbingan dan pedidikan jasmani maupun rohani, serta melatih ketahanan fisik dan mentalnya. Dengan demikian, melalui bimbingan, pendidikan dan pelatihan tersebut, diharapkan bisa melahirkan sosok-sosok pecinta alam yamg memiliki sikap relegius tinggi dan tangguh dalam menjaga dan melestarikan alam ini. Dan akan menjadi contoh yang baik dilingkungan masyarakat, khusunya dilingkungan sesama pecinta alam.
Tulisan ini merupakan percikan unek-unek penulis, bahwa sebagian anggota organisasi pecinta alam, menganggap slayer sebagai sebuah mahkota raja yang harus dijaga dan disucikan. Tak mengapa slayer itu diperlakukan seperti mahkota raja, asalkan tidak sampai membuat kita lupa, bahwa yang paling pantas untuk dijaga serta disucikan adalah hati dan perbuatan kita. Karena, seberapa pun berharga dan bernilainya slayer itu, tidak akan berarti bila sifat dan perbuatan pemiliknya tidak dijaga dan disucikan.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

ARTI DAN MAKNA LAMBANG KPA SPALA GOWA


Suatu Organisasi, tidak lepas dari sebuah lambang atau simbol. Lambang ini, merupakan gambaran dari tujuan organisasi itu dibentuk. Tak lengkap rasanya, jika tujuan organisasi hanya diucapkan atau ditulis saja. Maka dari itu, agar mudah mengingat makna serta tujuan organisasi tersebut, dibuatlah sebuah simbol-simbol yang kemudian menjadi lambang. Dan masing-masing symbol diberi arti atau makna yang sesuai dengan tujuan dan prinsip dasar dari organisasi itu sendiri.
Kelompok Pecinta Alam SPALA GOWA, sebagai organisasi yang bergerak di bidang kepecintaalaman, memiliki lambang yang terdiri dari simbol 5 (lima) warna, yaitu: Merah, Kuning, Orange, Hitam dan Putih. Serta simbol arah mata angin, bulat, dua lingkaran kecil warna hitam, jejak telapak kaki, bendera merah putih, gunung, langit berwarna orange dan laut. Adapun makna atau arti simbo-simbol tersebut, yaitu sebagai berikut:
1.      Arah mata angin: melambangkan bahwa KPA SPALA GOWA mempunyai arah dan tujuan yang jelas.
2.      Bundar/bulat: melambangkan kebulatan tekad dalam mencapai tujuan organisasi.
3.      Lingkaran kecil berwarna hitam yang ada diluar; melambangkan bahwa KPA SPALA GOWA dalam melakukan setiap kegiatan tidak keluar dari nilai-nilai ajaran Islam.
4.      Lingkaran kecil berwarna hitam yang ada didalam: melambangkan bahwa KPA SPALA GOWA dalam melakukan setiap  kegiatan tidak keluar dari nilai-nilai Kode Etik Pecinta Alam Indonesia.
5.      Jejak telapak kaki: melambangkan bahwa KPA SPALA GOWA dalam melakukan setiap kegiatannya tidak akan meninggalkan kesan buruk, baik dilingkungan masyarakat, maupun dilingkungan alam bebas.
6.      Tulisan Spala dan Gowa ialah sebagai nama dan tempat atau kedudukan organisasi, yaitu di Kabupaten Gowa.
7.      Gunung: melambangkan kekokohan solidaritas yang dimiliki oleh para anggota KPA SPALA GOWA.
8.      Bendera kebangsaan yang terletak ditengah: melambangkan bahwa KPA SPALA GOWA dibentuk sebagai wujud kecintaan terhadap Bangsa dan Tanah Air Indonesia.
9.      Laut: melambangkan keinginan yang mendalam untuk menjaga dan melestarikan alam.
10.  Warna orange: melambangkan kecerahan hati dan fikiran para anggota KPA SPALA GOWA dalam setiap keadaan.
11.  Warna merah: melambangkan bahwa para anggota KPA SPALA GOWA berani berjuang dan berkorban untuk melawan penjahat-penjahat alam.
12.  Warna kuning: melambangkan bahwa anggota KPA SPALA GOWA mengutamakan kebersamaan dan persatuan, baik dalam keadaan suka maupun duka.
13.  Warna hitam: melambangkan kerendahan hati para anggota KPA SPALA GOWA.
14.  Warna putih: melambangkan kesucian niat para anggota KPA SPALA GOWA dalam berbakti kepada Tuhan, Bangsa dan Tanah Air.
Baca juga "Sejarah Perjalanan Kpa Spala Gowa"

Dari penjelasan makna simbol-simbol, maka dapat disimpulkan bahwa KPA SPALA GOWA memiliki arah serta  tujuan yang jelas, dimana ketika tujuan itu ingin dicapai, dibutuhkan kebulatan tekat serta tidak akan keluar dari nilai-nilai ajaran islam dan Kode Etik Peinta Alam. Dan dalam melakukan kegiatannya, tidak akan meninggalkan kesan yang bersifat buruk dilingkangan masyarakat maupun dilingkungan alam bebas. KPA SPALA GOWA berkedudukan di Kabupaten Gowa, yang dibentuk sebagai wujud pengabdian serta kecintaan terhadap Tuhan, Bangsa dan Tanah Air. Setiap anggota KPA SPALA GOWA, dituntut agar memiliki sikap dan sifat, berupa berani, kesucian, kerendahan dan kecerahan hati serta fikiran. Dan akan selalu menjunjung tinggi sikap solidaritas, baik dalam keadaan suka maupun duka.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

MASA DEPAN ORGANISASI PECINTA ALAM DI INDONESIA. PART II


Mendaki merupakan salah satu kegiatan yang sering dilakukan oleh Organisasi Pecinta Alam. Bahkan, sebagian OPA, kegiatan tersebut sudah menjadi kegiatan rutin yang dilakukan pada setiap minggu, kalau enggang dikatakan setiap hari. Tapi, apakah mendaki  harus dilakukan oleh Pecinta Alam?, ataukah seseorang belum dianggap mencintai alam kalau belum mendaki?. Tidak harus melakukan pendakian, jikalau hanya ingin menjadi pecinta alam. Sebab, mendaki bisa dilakukan oleh seseorang atau siapa saja yang memiliki keterampilan, kekuatan fisik dan mental, meskipun orang tersebut bukan pecinta alam.
Disini penulis tidak melarang atau mempermasalahkan OPA melakukan kegiatan mendaki gunung, tapi setidaknya, sebelum melakukan kegiatan tersebut, alangkah baiknya kalau di fikirkan dampak baik buruknya, baik bagi diri si pendaki maupun alam atau gunung yang akan didaki. Kalau dampak buruknya lebih dominan, sebaiknya dipertimbangkan kembali agar tidak melakukan pendakian tersebut. Tapi, apakah kegiatan mendaki yang sering dilakukan OPA ada manfaatnya untuk kelestarian alam?. Terlalu sering melakukan pendakian di gunung, apalagi dilakukan secara massal, akan berdampak buruk bagi kelestarian alam.
Penulis tidak menyarankan agar kegiatan mendaki gunung dihapus atau dihilangkan di dalam OPA. Namun, hanya perlu dibatasi pelaksanaannya, karena disamping kegiatan tersebut mengandung banyak resiko, berupa kecelakaan, tersesat dan kematian, juga tidak banyak atau sama-sekali tidak bermanfaat untuk kelestarian alam. Kegiatan yang seharusnya banyak atau sering dilakukan oleh OPA adalah kegiatan Konservasi Alam, berupa reboisasi atau penghijauan, aksi bersih dan bakti social. Serta kegiatan lainnya, seperti diskusi-diskusi tentang masalah lingkungan dan bagaimana cara menanganinya serta melakukan aksi kampanye kesadaran linngkungan.
Dengan demikian, apabila kegiatan-kegiatan seperti diatas, bisa dijadikan sebagai kegiatan rutin didalam OPA, maka semua tanggapan negative masyarakat akan berubah menjadi positive, dan akan mengembalikan kesucian nama PECINTA ALAM dimata masyarakat yang selama ini tercoreng oleh seseorang atau sekolompok orang yang mengaku mencintai alam. Mereka bertingkah seolah mencintai atau peduli terhadap alam. Alih-alih peduli akan alam, peduli terhadap dirinya sendiripun kita mungkin akan sepakat untuk mengatakan tidak!!!. Apakah pantas dikatakan peduli, apabila mereka masih saja sering mengkomsumsi minuman keras dan obat-obatan terlarang?. Apakah ini yang dinamakan cinta?. Tidak menyadari dirinya sebagai bagian dari alam. Mengkomsumsi minuman keras, akan merusak diri dan kehidupan seseorang. Jadi, merusak diri sendiri, berarti merusak alam, karena manusia adalah bagian dari alam. Tak ada dasar sama-sekali adanya hubungan yang selaras tentang mencintai alam kalau masih mengkomsumsi barang haram tersebut.
Selain itu, ada sosok pecinta alam, yang menjadi momok yang sangat menakutkan dalam setiap sisi kehidupannya. Arogansi, solidaritas buta dan sebagainya bisa kita temui di beberapa OPA. Dan tak jarang juga ditemukan kekerasan fisik bahkan seksual yang sampai menyebabkan kematian yang dilakukan oleh sosok-sosok yang berada dalam OPA, yang biasanya terjadi pada saat melakukan kegiatan Pendidikan dan Latihan Dasar (DIKLATSAR. Dan mungkin kekerasan tersebut dilakukan oleh sosok pecinta alam, akibat pengaruh dari minuman keras dan obat-obatan terlarang. Sangat berlawanan dengan kata cinta yang ada pada nama pecinta alam.
Penomena sosok pecinta alam yang belum dapat mengamalkan nilai-nilai yang tertuang dalam Kode Etik Pecinta Alam, menjadi sebab pentingnya penekanan visi dan misi OPA di dalam melaksanakan kegiatannya, khusunya didalam pelaksanaan kegiatan Diklatsar, yang tidak hanya bersifat penguatan fisik dan mental semata, tetapi juga yang harus ditekankan adalah bagaimana agar setiap anggota atau sosok OPA memiliki sikap relegius yang tinggi, sebagaimana tujuan awalnya ingin mencintai alam, berarti ingin mencintai Pencipta alam, sebagai pembuktian pengakuan adanya Sang Maha Pencipta.
Dimas Putra Ramadhan, dalam salahsatu artikelnya yang berjudul; “ Mengapa Kita Harus Naik Gunung”. Mengatakan; Jikalau sosok-sosok yang ada dalam Organisasi Pecinta Alam, tak mau berbenah dan mengevaluasi diri, bukan tidak mungkin Pecinta Alam akan kehilangan makna dan kesuciannya  didalam perjuangannya yang sangat mulia. Bagaimana di satu sisi bisa memanusiakan manusia dalam konteks kaderisasi dan sementara di sisi lain berperan aktif di dalam tugasnya sebagai khalifah di muka Bumi ini.
Masih menurut Dimas; Mulia atau hinanya sebuah organisasi, berawal dari kesadaran-kesadaran dari para penghuni yang membawa nama baik organisasinya. Karena, kesalahan-kesalahan sosok organisasi, bisa di indikasikan sebagai suatu kesalahan yang ada pada organisasi yang menaungi sosok tersebut.
Mari memulai perubahan kecil dari disendiri, menuju perubahan yang besar untuk organisasi. Mari mulai sekarang membenahi dan mengevaluasi diri dan organisasi untuk menyongsong masa depan Organisasi Pecinta Alam yang cerah. Karena kesuksesan suatu organisisasi dimulai dari kesuksesan para penghuninya. Perjuangkan dan jagalah kesucian nama PECINTA ALAM, jangan kau coreng kesuciannya yang amat mulia. Kalau bukan kita, siapa lagi, kalau bukan sekarang, kapan lagi.!
SALAM LESTARI…!!! Jayalah selalu Pecinta Alam Indonesia!

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

LATAR BELAKANG DAN SEJARAH PERJALANAN KPA SPALA GOWA


Kerusakan Alam saat ini sudah terjadi dimana-mana dan telah menimbulkan bergai macam persoalan pada masyarakat. Diantaranya tanah longsor, kebakaran hutan, lahan pertanian menjadit andus, sungai mengering serta pada musim kemarau air bersih tidak mencukupi kebutuhan masyarakat, apalagi air yang dipakai untuk menyiram tanaman sangat minim sekali sehingga banyak tanaman yang mati karena kekeringan.

Menyadari akan pentingnya pelestarian lingkungan yang didasari keinginan untuk berbuat, selayaknya masyarakat harus semakin sadar dan giat dalam proses pelestarian lingkungan, mengingat adanya berbagai macam persoalan yang dapat merugikan masyarakat itu sendiri. Merusak alam secara terus menurusakan mengakibatkan rusaknya ekosistem, dan untuk memperbaiki dan mengembalikannya sama seperti semula akan memakan waktu puluhan bahkan ratusan tahun.

Wilayah Kabupaten Gowa sebagai salah satu daerah yang sangat rawan akan kerusakan alamnya, khususnya di kawasan kaki Gunung Bawakaraeng. Menyadari akan ancaman tersebut, maka pada tanggal 19 September 1995 pemuda dan pemudi telah sepakat untuk membentuk wadah aktifitas pemuda, dengan nama Komunitas Pecinta Alam (KPA) FAMILY NATURE, yang berkedudukan di Dusun Silanggaya, Desa Kanreapia, Kecamatan Tombolopao.  Adapun para pendirinya antara lain: Mustafa, yang biasa dipanggil Arya, dan sekaligus sebagai ketua, Sulkarnain, (Sul), Gaffar (Geer), Saleh, (Elas) Syuaib (Nandy), Mariani  (Ani), Suhartina (Inha), Sultan, Ramli, Makmur, Nurlia (Lia), Nurbaya (Baya), Anti, Salma, Suhardi (Suha), Sudirman (Cudi’) dan Hasbi.

 Family Nature, pada waktu itu hanya menerima anggota yang ada hubungan keluarga saja dan tidak menerima orang luar. Akan tetapi seiring berjalannya waktu serta banyaknya orang luar yang ingin bergabung, maka Kpa Family Nature sepakat untuk menerima anggota dari daerah manapun, dengan harapan agar Kpa Family Nature, nantinya akan tambah banyak dikenal oleh kpa-kpa lain. Untuk itu,  pada tahun 2003, Kpa Family Nature diubah namanya menjadi “PAKHIS MB" (Pecinta Alam Kehidupan Semesta-Malino Bone). Nama ini, diprakarsai oleh salah satu pendiri Family Nature yaitu  Syuaib (Nandy). Dan sekaligus diangkat sebagai ketua umum pada waktu itu. 

Adapun pemakaian kata "Bone" merupakan sebab diubahnya nama Family Nature. Dikarenakan pada waktu itu ada anggota yang berasal dari Kabupaten Bone, tepatnya di daerah Desa Bana, Kecamatan Bonto Cani, berjumlah lima orang. Adapun nama-nama kelima orang tersebut yaitu: A. Arman, A. Mursalim, A. Andri, A.Mia dan A. Kahar. Namun, PAKHIS MB hanya bertahan selama kurang-lebih tiga tahun. Karena pada tahun 2006, PAKHIS MB fakum dengan berbagai faktor.

Akan tetapi pada tahun 2011, Arya kembali tergugah hatinya untuk menghidupkan PAKHIS MB, yang sempat fakum selama beberapa tahun.  Pada tanggal 15 April 2011, PAKHIS MB berhasil di hidupkan. Kemudian kembali berganti nama menjadi "SPALA MALTIM" (Silanggaya Pecinta Alam-Malino Timur). Dan pada waktu itu, Arya diangkat  menjadi Ketua Umum, periode 2011-2014. Kemudian digantikan oleh Nawir, periode 2014-2017.

Komunitas Pecinta Alam (KPA) sebagai bagian dari program Spala sebagai cabang kegiatan dituntut untuk berkiprah sesuai dengan bagiannya dalam membantu pemerintah dalam pelestarian Sumber Daya Alam. Kerusakan hutan diwilayah Kecamatan Tombolopao dan sekitarnya telah menggugah hati Kpa Spala untuk eksis dalam Kampanye Kesadaran Lingkungan. Walaupun sesungguhnya senantiasa berhadapan dengan berbagai kendala, termasuk tingkat kesadaran masyarakat yang masih  rendah. Akan tetapi semuanya itu tidak menyulitkan dan menurunkan semangat Kpa Spala untuk tetap melestarikan alam sesuai batas kemampuannya.

Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin modern, maka Kpa Spala akan semakin eksis untuk bekerja sama dengan unsure-unsur terkait guna menyusun program yang berkaitan dengan pelestarian alam.

Catatan: Sumber imformasi dihimpun dari hasil wawancara para sesepuh SPALA.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS