Mengenai Saya

Foto saya
malino, Gowa Sulsel, Indonesia
Selamat Datang di Blog Kpa Spala Gowa. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

KETIKA PACARMU SEORANG PENDAKI

Gambar diambil dari
https://www.google.co.id/search?q=cinta+pendaki
Zaman sekarang nampaknya kegiatan naik gunung sudah mulai digemari kaum Hawa. Ketika saya mendaki banyak cewe-cewe cantik yang tampang mall dan kata temen pendaki saya sih high maintenance . Naik gunung seolah jadi hobi yang bukan lintas gender lagi, bukan hanya mainan kaum Adam belaka. Sering dijumpai pendaki-pendaki nan modis dan ciamik di track. Seolah ini menjadi hiburan tersendiri bagi para kaum lelaki emoticon-Big Grin.




Gunung kadang jadi tempat pelarian dari segala kegundahan, tempat mencari ketenangan. Berada selama setahun di dunia daki mendaki, membuat saya berkesimpulan bahwa selain hobi, para pendaki mencari tempat pelampiasan dari masalahnya sendiri, yang mungkin secara psikis dan psikologis itu tak stabil. Memang benar ketika kita ingin mengetahui sifat seseorang, bawalah ke alam maka akan terbuka semua sifatnya. Dalam kondisi pendakian, tak jarang banyak yang jatuh cinta alias cinta lokasi entah berlangsung lama ataupun tidak ya. Saya banyak menemukan momen tersebut. Nah berikut saya mau coba ngasih pandangan kalo pacar kita seorang pendaki dan kita sama-sama hobi mendaki : 

Tanggung Jawab 

Untuk poin ini buat saya berada diurutan teratas kenapa? Ya karena ketika kita siap naik gunung, artinya siap menyerahkan nyawa kita pada alam. Setiap pendaki setidaknya pasti punya jiwa tanggung jawab, melindungi keselamatan rekannya. Agar jangan sampai cedera apalagi sakit. Tag line mereka biasanya "Pergi bareng pulang juga harus bareng". 

Petualangan tiada batas 

Seorang yang suka petualangan di alam bebas memiliki imajinasi yang sulit ditebak. Kita akan selalu dikejutkan dengan momen - momen yang kadang diluar batas akal sehat. Simple tapi romantis contohnya mengajak kita mendaki puncak yang cantik, melewati savana luas, melihat bintang terang dan purnama penuh. Bukan hal yang mahal, sederhana penuh makna. 

Waktu ngedate lebih panjang dan berkesan 

Karena satu hobi jadi lebih paham, dengan nanjak bareng waktu kencan lebih lama, dengan nanjak bareng bisa ngobrol ngalor ngidul, ketawa bareng, mungkin dari bangun sampai tidur kita liat orang yang sama. Senyum yang sama. Selain itu mungkin mengajarkan pengalaman yang gak pernah kita dapet di kehidupan sehari-hari kayak di kota. 

Penuh keajaiban

Kadang mereka yang pendaki gak banyak bicara dan kadang agak pendiam. Gak bisa kalo ngomong langsung, yang ada kadang nekat dan langsung aksi. Kadang itu konyol tapi bisa buat kita ketawa sendiri. Mungkin untuk say "I LOVE YOU" aja gagapnya setengah mampus, alasannya malu atau gugup. But they are really so funny ketika bilang kalimat pamungkas tersebut dengan terbata-bata. 

Ditinggal dari gunung satu ke gunung lainnya 

Bohong kalo pendaki itu gak puas dengan satu puncak. Mereka pasti berburu puncak satu ke puncak lainnya. Petualangan baru selalu dimulai, dan pastinya sebagai pacar andai kataga bisa muncak dan nanjak bareng harus siap ditinggal-tinggal, tanpa diberi kabar berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu buat suatu ekspedisi.Nerima kabar lewat sms aja cuma kabar sampai puncak atau turun gunung dengan selamat. Udah banyak bersyukur nampaknya. Tapi pacar yang ditinggal nanjak, gigit jari aja liat yayangnya pergi dan dapet view oke emoticon-Big Grin 

Anti cemburu 

Disetiap pendakian pasti bertemu orang baru, kemudian terbentuk cerita baru. Alam bisa menjadikan hal yang gak mungkin menjadi mungkin, Alam itu sulit ditebak. Artinya ketemu orang baru yang lebih menarik dan buat penasaran terbuka lebar. Kata selingkuh pun mungkin gampang terlintas. Modus sana modus sini. Dan artinya kalo punya pacar pendaki harus siap dengan resiko ini. Berbesar hati, jangan cemburuan. Kalo gara-gara cemburuan bisa runyam hubungan bisa babayy nanti. 

Kuatin iman jaga kepercayaan

Banyak - banyak berdoa deh kalo punya pacar pendaki. Supaya dikuatin imannya ga kegoda tetangga yang lebih oke dijalur pendakian. Supaya setia, dan bisa jaga kepercayaan orang tersayang yang ditinggal nanjak. Trust is everything, ketika percaya maka hubungan itu sendiri akan aman dan terus berlanjut.
Sumber
JADI MASIH MAU PUNYA PACAR ANAK PENDAKI?

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

DEKAPAN MAUT GUNUNG SLAMET

Gambar diambil dari https://www.tipswisata.co/2017/12/gunung-slamet.html
Adalah mereka Turniadi (Dodo), Masrukhi, Dewi Priamsari, Bagus Gentur Sukanegara, Ismarilianti (Iis), Bregas Agung, dan Ahmad Fauzan. Mereka berangkat Minggu tanggal 4 Pebruari 2001 pagi dari Gelanggang Mahasiswa UGM ke Stasiun Lempuyangan menuju Bumiayu. Diselingi makan siang, mereka melanjutkan perjalanan dan tiba di Pengasinan sekitar pukul 15.30. Dari Pengasinan menuju desa awal pendakian Desa Kaliwadas yang berjarak 7 km ditempuh dengan jalan kaki dan bermalam di Desa Kaliwadas.

Senin (5/2) sekitar pukul 09.30, kelompok ini mulai melakukan pendakian menufju Puncak Slamet. Kurang lebih pukul 15.30 WIB mereka sampai di pertemuan jalur Kaliwadas - Baturaden dan meneruskan perjalanan sampai pukul 17.00 kemudian membangun camp dan istirahat semalaman.


Selasa (tanggal 6 Pebruari 2001) siang, sekitar pukul 13.00 WIB, mereka pun sudah berada di garis vegetasi puncak gunung tersebut. Para pendaki yang mengenal puncak Slamet pasti tahu, garis vegetasi itu tidak hanya merupakan batas untuk bisa tumbuhnya tanaman, tapi juga sering menjadi semacam point of no return . Begitu pendaki melewati garis tersebut menuju puncak, bahaya badai dan kabut tebal sering datang dengan tiba-tiba dan jika ini terjadi maka sulit untuk kembali. Benar juga, meski sudah mencapai batas vegetasi, mereka terhambat untuk meneruskan perjalanan ke puncak. Mereka berencana, jika memungkinkan Selasa langsung naik ke puncak dan sorenya langsung turun ke Bambangan.

Namun badai tiba dan puncak Slamet diselimuti kabut tebal. Mereka lantas memutuskan untuk membuat base camp, mendirikan tiga tenda di dekat garis vegetasi gunung berketinggian 3.432 meter di atas permukaan air laut yang terletak di perbatasan Kabupaten Pemalang, Banyumas, Tegal, dan Purbalingga itu. Mereka beristirahat untuk menunggu esok hari.

Sebenarnya Rabu (7/2) pagi pukul 05.00 WIB cuaca sekitar Puncak Slamet cerah. Namun mereka tak bisa mendaki, karena belum mengepak perlengkapan. Baru sekitar pukul 06.00 WIB barang-barang selesai dipak, dengan 7menyisakan satu tenda yang dibiarkan tetap berdiri mereka menuju puncak. Namun saat itu pula, kabut tebal dan badai angin kencang kembali melanda puncak Slamet. Mereka kembali masuk tenda karena mereka tak mau mengambil risiko terserang hipothermia, karena suhu di garis vegetasi saja saat itu di bawah nol derajat celcius.

Sekitar pukul 10.00 WIB, badai mulai reda. Meski puncak masih diselimuti kabut, angin tidak lagi menderu kencang. Sebenarnya ada rasa keraguan untuk naik ke puncak, tetapi Masrukhi dan Dodo sebagai pendamping menyatakan berani untuk mengantar sampai ke puncak. Akhirnya perjalanan naik ke puncak diteruskan. Tapi, di tengah pendakian, badai menghebat kembali. Mereka masuk dalam situasi point of no return . Saat itu, mereka berada di tengah perjalanan antara batas vegetasi dan puncak. Mereka sempat berencana untuk kembali ke base camp. Tapi, baik kembali ke base camp maupun meneruskan ke puncak, sama sulitnya. Akhirnya, mereka memutuskan untuk meneruskan pendakian.


Saat itu, jarak pandang hanya sekitar setengah meter, karena tebalnya kabut. Masrukhi, mahasiswa Fisipol UGM, tiba-tiba berteriak minta tolong. Dia diduga terserang hipothermia (penurunan temperatur tubuh secara mendadak) dan terguling ke lereng. Mereka mendengar suara itu, namun, karena tebalnya kabut, mereka tidak bisa melakukan apapun. Setelah mereka berenam sampai puncak, Dodo, Fauzan, dan Gentur, turun menjemput Masrukhi. Mereka memapah Masrukhi hingga ke puncak Tugu Surono. Tugu itu adalah tanda puncak tertinggi Gunung Slamet. Di puncak yang juga bibir kawah Slamet itu mereka mendirikan tenda dan menginap semalam. Saat itu mereka tidak mungkin kembali, karena badai makin menjadi-jadi.
 


Bahkan hingga keesokan harinya, Kamis (8/2), badai tak juga reda. Mengingat kondisi fisik mereka makin lemah, padahal masih membutuhkan tenaga untuk turun, akhirnya mereka memutuskan untuk turun. Saat itulah Masrukhi yang kondisi fisiknya masih lemah kembali terserang hipothermia. Dia sempat terguling, namun beruntung, Bergas yang ada di depan Masrukhi sempat menghadang tubuhnya, kalau tidak tubuh Masrukhi saat itu juga sudah masuk jurang. Kelima pendaki lain segera mendekati tubuh Masrukhi dan Bergas yang terjatuh. Mereka memutuskan menunda perjalanan, dan kembali mendirikan tenda di sekitar lokasi jatuhnya Masrukhi. Padahal, saat itu mereka masih berada di kawasan non-vegetasi (tanpa tumbuh-tumbuhan) di Puncak Slamet.



Tiba-tiba, beberapa meter di bawah mereka, terdengar sayup-sayup suara beberapa orang yang berteriak-teriak. Namun mereka tak mendengar secara jelas, apa yang orang-orang itu ucapkan. Mereka hanya bisa berkomunikasi dengan peluit, agar tidak saling kehilangan kontak. Mereka lantas meminta Dewi untuk mendekati asal teriakan itu. Dipandu suara peluit dari pendaki lain, akhirnya Dewi dapat mendekati mereka. Mereka ternyata pendaki dari Jakarta, tapi tidak berani memberi pertolongan, karena kabut terlalu tebal. Para pendaki asal Jakarta itu, memutuskan untuk turun ke Bambangan, desa terdekat di kaki Gunung Slamet, untuk minta pertolongan dari desa tersebut. Dewi diputuskan ikut bersama pendaki dari Jakarta turun ke bawah. Saat itu kondisi Masrukhi masih hidup, hanya saja kondisinya terlihat payah. Dalam perjalanan turun Dewi sempat bertemu Tim SAR dan sampai di Bangbangan Kamis malam, sekitar pukul 21.30. Segera setelah itu, Dewi yang mahasiswi D-3 Fakultas Geografi UGM itu melapor ke Kapolsek.
Sementara itu siang hari menjelang sore, di atas sana cerita getir terjadi. Maut kemudian merenggut lima nyawa pendaki Mapagama itu satu demi satu. Korban pertama adalah Masrukhi. Dia menghembuskan napas terakhir di pangkuan Dodo di lokasi basecamp. Mereka memutuskan untuk turun meninggalkan jenazah Masrukhi,dengan pertimbangan akan dievakuasi kemudian. Namun, kondisi fisik Bergas dan Fauzan sudah sangat kelelahan. Baru turun beberapa meter, Fauzan terjatuh ke selokan dan terguling beberapa meter. Bergas juga tampak kepayahan. Akhirnya, diputuskan untuk mendirikan tenda dan menginap lagi semalam. Di tempat ini, Fauzan terserang hipothermia. Sementara, persediaan logistik juga semakin terbatas, dan tak bisa dimasak karena kompor gas lipat mereka terbawa Dewi. Mereka hanya makan seadanya, mie instant kering, permen dan sambal pecel.

Keesokan harinya,Jumat (9/2), diputuskan hanya Dodo yang turun ke bawah, untuk minta pertolongan. Namun, hingga Sabtu (10/2), pertolongan tidak kunjung datang. Akhirnya, diputuskan Gentur untuk turun, sedangkan Iis tetap menunggui Fauzan dan Bergas. Dalam perjalanan turun, Gentur yang hanya berbekal delapan permen mengalami kesulitan yang luar biasa. Posisi mereka turun sejak dari puncak memang sudah bergeser, tidak lagi di jalur pendakian. Untungnya, ia menemukan alur sungai. Dengan mengikuti alur sungai itulah, Gentur akhirnya sampai kesebuah jalan aspal di Desa Serang, sebuah desa di antara Baturaden Kabupaten Banyumas dan Desa Bambangan Kabupaten Purbalingga.

Sampai di tempat itu, Ahad (11/2) pagi, Gentur langsung minta diantar tukang ojek ke Desa Bambangan. Begitu sampai, Gentur baru tahu Dodo tidak pernah sampai di desa terakhir rute pendakian Gunung Slamet itu. Dari situlah, kemudian Tim SAR dari berbagai kelompok pecinta alam sejumlah universitas, dibantu warga Bambangan dan Basarnas, memulai upaya pencarian.

Senin (12/2), adalah Fauzan, mahasiswa D-3 Geografi UGM yang pertama kali diketemukan oleh Tim SAR dakam kondisi sudah meninggal di dalam tenda, 20 meter di bawah garis vegetasi. Sementara Iis dan Bergas tidak lagi berada di tempat itu. Iis, mahasiswi Fakultas Kehutanan UGM, baru ditemukan pada Rabu (14/2). Waktu ditemukan, Iis berlindung di bawah cerukan air terjun di ketinggian 2750 meter, hanya mengenakan raincoat yang basah dengan kerudung (jilbab) dilepas. Kondisi fisiknya sudah teramat payah, gigi depan patah, luka di tulang kering kaki kanan dan leher, namun ia masih sadar. Karena sudah sore, tiga anggota Tim SRU (Search and Rescue Unit) yang menemukan Iis memutuskan untuk mendirikan tenda dan bermalam.



Setelah mengganti baju Iis yang basah, Tim SRU langsung membuat api unggun dan penyelamatan skin to skin (kulit ke kulit) untuk mengatasi hypotermia yang diderita Iis. Dari sore sampai malam hanya itulah yang bisa dilakukan. Eko Cahyo (anggota SRU 3 dari Unit P3K UGM) memutuskan memasukkan Iis ke dalam sleeping bag. Sekitar pukul 22.00, Iis mulai membaik dan bisa bicara serta menjawab beberapa pertanyaan-pertanyaan yang mudah.
Kamis (15/2) pukul 01.00, Eko Cahyo mendapat giliran untuk tidur, dan Samsi pun menggantikan posisi Eko untuk menjaga Iis dengan membikin api unggun dan mengajak mengobrol serta menempelkan penghangat ke tubuh Iis. Pukul 03.00 pagi Samsi berbaring di sebelah Iis dan karena kelelahan, Samsi pun tertidur. Ketika terbangun sekitar pukul 04.30, kondisi Iis sudah kritis tanpa respons, sehingga dilakukan pernapasan buatan sampai sekitar 20 menit. Sampai pukul 05.20 terus diupayakan penyelamatan namun gagal. Dan pagi hari sekitar pukul 07.00 mereka mengirim berita bahwa Iis sudah meninggal.


Pada hari yang sama saat Iis diketemukan (Rabu-14/2), Tim SAR yang memang dipecah-pecah menjadi beberapa unit kecil, juga menemukan Dodo. Mahasiswa Fak Hukum UGM ini juga diketemukan sudah meninggal. Sementara Bergas, mahasiswa Fakultas Peternakan UGM, ditemukan Sabtu (17/2), juga sudah meninggal dunia, di dekat batas vegetasi. Korban terakhir yang ditemukan adalah Masrukhi. Jenazahnya baru ditemukan Senin(19/2) pada lokasi jauh dari tempat semula ditinggalkan, sekitar 200 meter di atas garis vegetasi (misteri yang sampai saat itu belum terjawab).


Dan dari tujuh pendaki Mapagama itu, hanya dua pendaki yaitu Dewi dan Gentur yang selamat. Lalu mengapa hanya ada plakat dengan nama Iis di sana (Kendit)? Ternyata, kawan-kawan Iis dari Silvagama (Mapala-nya Fakultas Kehutanan UGM) yang memasangnya. Sebelumnya Iis memang pernah mendaftarkan diri menjadi anggota Silvagama, tetapi tidak lulus karena sakit dan tidak bisa mengikuti seluruh kegiatan Diklat Silvagama. Walau demikian, Iis tetap menjadi bagian dari Silvagama dan sering berkumpul bersama di Sekretariat Silvagama.

Sedangkan plakat yang dibangun oleh teman-teman Mapagama berada di pinggir kawah antara Puncak Bambangan dengan Puncak Tugu Surono. Bulan November 2009 lalu, plakat tersebut diperbaiki setelah rusak pasca aktifnya Gunung Slamet tahun 2009 lalu, dan sekarang posisi plakat yang baru berada di Puncak Bambangan.
Sumber

Ini menjadi pelajaran berarti untuk kita semua, alam tak akan pernah bisa di taklukkan, persiapan yang matang dan mental yang kuat agar hal seperti ini tidak terjadi lg, bukan ke gagahan yang kita cari tapi keselamatan individual dan kelompok yang kita pikirkan, ego, dan ke sombongan yang harus kita kalahkan, agar kembali dengan selamat sampai rumah. Karena inilah tujuan kita mendaki "pulang kerumah dengan selamat".

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

PESONA SI PERUT BUNCIT



 dari kiri kekanan, Ombak , saya Beruang dan Angin
puncak Lompobattang
Akhir bulan agustus 2017 yang lalu, kami anggota Kpa Spala Gowa telah merencanakan pendakian kesalah satu gunung yang banyak digemari oleh kalangan pendaki, yaitu Gunung Lompobattang. Dimana nantinya akan menjadi pendakian perdana kami ke gunung ini.  Dan kami sudah jadwalkan untuk berangkat pada hari jum'at tanggal 9 september 2017.

Gunung Lompobattang, berdiri tegak dengan ketinggian 2714 Mdpl, terletak di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Indonesia, dengan titik Koordinat 5° 20’ 53” LS, 119° 55’ 57” BT. Gunung ini berdekatan dengan gunung Bawakaraeng. Seperti Gunung Bawakaraeng, gunung ini juga menjadi sasaran singkritisme yang melakukan Ibadah Haji dipuncak gunung ini pada musim haji bulan Zulhijjah, yang disebut dengan Haji Bawakareng. Suhu minimum di gunung Lompobattang adalaah sekitar 17° Celcius, hingga maksimun 25° Celcius. Gunung Lompobattang termasuk gunung api tidak aktif tipes tratovolcano atau kerucut.
Menurut catatan sejarah, orang pertama yang menapakkan kakinya di gunung Lompobattang adalah seorang pendaki yang berasal dari Inggris, bernama James Brooke pada tahun1840.Meskipun sebenarnya pendaki pertamanya bukan orang inggris ini, melainkan masyarakat sekitar namun, dialah yang pertama kali mendeklarasikan Gunung Lompobattang pada masyarakat dunia.

Seperti gunung Bawakaraeng, gunung ini juga, menjadi objek pendakia nmelalui Desa Lembang Bu’ne di Kelurahan Cikoro’, Kecamatan Tompo’bulu, Kabupaten Gowa. Tapi, pendakian ini, rencananya kami akan menggunakan jalur  Gunung Bawakaraeng, yang dimulai dari tempat dimana kami tinggal. Yaitu Dusun Silanggaya, Desa Kanreapia, Kecamatan Tombolopao, Kabupaten Gowa. Dimana nantinya, jalur ini bertaut dengan jalur Lembanna dipertangahan pos 7 dan 8.

Jum'at tanggal 9 september, hari dimana kami akan memulai pendakian. Rencananya akan mulai star sesudah shalat jum'at. Namun, siang itu, dalam benak saya berkata, bahwa rencana ini hanya akan jadi rencana. Sebab, saya melihat tak satupun anggota Spala yang melakukan persiapan. Sampai akhirnya saya ketemu dengan Nawir atau biasa di panggil Ombak, dimana dia adalah ketua umum Spala Gowa. "Angnguraji jari jatoa a'lingka"? Tanyaku pada dia dengan bahasa kami sehari-hari. "Issengi, inai'ijado ke'nangia la'lingka, punna rua jatoa, poahh illamatoa a'lingka'i bela.! Jawab dia dengan perasaan ragu. "Elo'ji na kua'ang I Angin  ia a'lingka. Jawabku.

Setelah itu, saya langsung mendatangi rumahnya Angin untuk menanyakan jadi tidaknya dia pergi. Sesampai saya dirumahnya, saya langsung nanya, " we angguraji jarijako a'lingka? "aihh tena kapang.! Balasnya dengan nada rendah. Angngurai na tajaria? Tanyaku lagi. "Tena la kammiki bolaku belaa, kanaungi bapakku na ammakku riBenga" jawabnya lagi. Disitu sayapaham dan menerima alasannya, saya pun juga tidak bisa memaksa. Dan akhirnya saya pamit untuk pulang, saya pun merasaputus asa dan menganggap rencana pendakian ini sudah gagal totalll notallk.!

Sore harinya, Ombakdatang menemui saya dan menanyakan apakah Angin mau pergi atau tidak. "Angnguraji elo'ji I Angin a'lingka?" tanya dia pada saya." aihh tena" jawabku. Karena kami berdua sudah terlanjur berencana untuk mendaki, akhirnya kami berdua putuskan untuk mendaki di tempat lain saja. Namun, belum sempat kami fikirkan tempat dimana kami mau mendaki, Angin tiba-tiba datang dan bilang pada kami, "angngurai punna mukopa na a'lingka toa?""mingka attantuji muko la lingkanu bela?' balas Ombak pada Angin. "Iyo jariji antu!" jawab Angin.Disitu saya ikutsaja, mau besok atau lusapun tidak masalah yang penting rencana ini tidak batal. Dan akhirnya kami bertigaanggota Spala Gowa, yaitu Angin dari angkatan Kabut Alam, Ombak dan saya Bernarddari angkatan Akar Bumi, telahsepakat untukberangkat besok pagi.
Sabtu tanggal 10 september, pukul 09:27 pagi, kami bertiga mulai star menuju Puncak LompobattangdenganmenggunakanjalurSilanggayadan tak lupa juga kami berdoa pada Sang Pencipta  Gunung Lompobattang-Allah SWT-  agar perjalanan kami dilancarkan.

Mulailah pagi itu, tiga pasang kaki makhluk yang bernama manusia melangkah demi langkah untuk menapaki Puncak Lompobattang. Diawal perjalanan masih jalan aspal, sampai terdapat belokan kiri sebelum jembatan. berupa jalan pengerasan yang menuju ke perkebunan warga. Jalan pengerasan ini, terhubung sampaidi Pos 1. Yang artinya mobil bisa naik sampai ke pos ini.Untuk bisa sampai di pos 1, hanya butuh waktu kurang lebih 30 menit. Di pos ini, menyuguhkan pemandanganyang akan menghipnotismata, karena kita bisa melihat jejeranrumah di wilayahKecamatan Tombolopao dan kita juga bisa melihat Gunung Bohonglangi yang memiliki keunikan, ia dijuluki gunung berselimut. Dimana warga Silanggayapercaya dan menjadikannya tanda, khususnya pada musim kemarau, bahwa ketika di Bulu' Bohonglangi diselimuti oleh awan, maka tidak lama lagi hujan akan turun.

Dari pos 1, kami melanjutkan perjalanan menuju pos 2. Oya di Pos I sampai dipertengahan pos 2 masih terdapat jaringan!. Saya pun saat itu, menyempatkan untuk mengakses internet dan mengabarkan posisi terakhir kami saat itu. Jalur menuju pos 2 masih sangat kentara, karena masih sering dilewati warga, ketika mau mengecek keberadaan ternaknya yang di lepas di hutan.

nampak saya dan Ombak lagi istrahat sembari
menambah tenaga, Pos 2 Lembah Terbuang
Jam 11:23, kami sudah sampai di pos 2. Kami pun istrahat dan menambah tenaga dulu di pos ini.Disitu Ombak mengeluarkan sesuatu dari ranselnya, dan ternyata itu "songkolo'"-nasi beras ketang- langsung saja saya menyantapnya dengan lahap, karena tadi sebelum berangkat saya tidak sempat sarapan. Di pos 2 ini, tempatnya datar dan sangat terbuka. Dan terdapat sungai yang mengitarinya. Di tempat ini pun, sering dijadikan sebagai tempat pendiksaran Kelompok Pecinta Alam, karena temptanya sangat strategis. Warga menamai tempat ini, dengan nama "Peddakia". Tapi kami sendiri dari Kpa Spala Gowa, menamakannya "Lembah Terbuang".

Karena rencana awal, kami akan camp di pos 11. Maka setelah mengisi tenaga, kamilangsung gass pooll.Di pertengahan pos 2 dan pos 3, terdapat percabangan ke kanan, jalur ini menuju ke Puncak Spala 2019 mdpl dan juga Bulu' Kalimbungan 2118 mdpl, dengan jarak sekitar 2 km atau 1 jam 30 menit perjalanan. Namun karena jarang ada yang kesana, jalurnya sudah agak tidak kentara.
Di pos 2 ke pos 3, hanya terdapat sedikit tanjakan, selebihnya sudah landai, sampai di pertengahan pos 3 dan 4.

Tidak terasa, kami sudah sampai di pos 3tepat jam 1:00 siang. Di pos ini, terdapat sungaimusiman. Dari sini, kami terus melanjutkan perjalanan menuju pos 4. Di pos 3 ke pos 4 hanya memakan waktu sekitar 40 menit perjalanan, begitupun dari pos 4 sampai ke pos 5.Di pos 4, terdapat mata air, sekitar 100 m ke sebelah kiri. Sampai di pos 4, kami hanya istrahat sejenak, kemudian melanjutkan perjalanan lagi, gass poll!!
Jalur pos 4 ke pos 5, medannya sedikit menanjak,kemudian landai yang disisi kirinya terdapat jurang. Disini kita bisa memanjakan mata sekaligus menghilangkan sedikit lelah, karena kita bisa mengintipjejeranrumah yang penghuninya ramah-ramah. Sebutlah ia Kampung Tassoso. Di kampung ini juga, terdapat jalur ke Bawakaraeng yang bertaut di pos 9 jalur Lembanna.

Langkah demi langkah, jam 02:43 menjelang sore, tibahlah langkah kaki kami bertiga di Pos 5.Di pos ini, terdapat batu besar menjulang tinggi dan dibawahnya terdapat tanah datar, kira-kira berukuran 3x6m. Konon,ditempat ini dulu ada gua, yang dijadikan tempat persembunyian orang Kombang-nama kampung yang adadi Sinjai Utara- pada masa penjajahan Belanda. Namun, batu besar tadi jatuh dari atas, hingga menutupi seluruh mulut gua tersebut. Dan menurut cerita- entah benar atau salah- ada beberapa orang yang tertahan di dalam gua itu dan tidak bisa keluar lagi. Sampai akhirnya, gua itu disebut "Liang Tukombang" yang artinya gua orang Kombang.Kebenaran cerita ini, dikuatkan dengan seringnya ditemukan bekas sesajen yang dipakai untuk mendo'akan orang yang sudah meninggal.Tak cukup lama kami disini, kamipun melanjutkan perjalanan.

Tak jauh dari pos 5 ke 6, terdapat 2 sungai kecil yang akan dilewati. Di sungai inilah, tempat mengambil air, ketika akan camp di pos 6. Karena di pos 6 ini, medannya datar dan sedikit terbuka, kira-kira bisa muat 5tenda. Serta sungai tadi, tidak terlalu jauh lagi kepos 6.

Jam 3:16, kami sudah sampai di pos 6. Disini kami istrahat untuk menambah tenaga lagi. Sengaja kami tidak memasak, karena takut kemalaman sampai di pos 11. Kami hanya mengisi perut dengan buah kurma, makanan kesukaan Nabi SAW, yang dibawaAngin. Sebuah makanan yang cocok untuk menambah tenaga. Tapi, saat itu saya tidak tau kalau itu kurma, dan saya kira itu buah asam hehehe. "Apantu" tanyaku pada Angin. "Anu.. E kurma" jawab Angin. Angngura na ombo' tumaeko angngalle? Tanyaku lagi sedikit keheranan. "Ah Daengku anjo angngerang battu ri Surabaya' jawabnya. "Oh.. ku kuaang nakke camba lanu suroangtoa angka'leroi hahahaha. Balas saya. Sontak kami bertiga tertawa terkekeh-kekeh,seketika suarakekehan kamimemecahkan kesunyian hutan belantara. Rupanya kurma itu, ole-ole yang di bawa kakanya Angin dari Surabaya.Cukup banyak candaan kami bertiga disitu yang membuat kami lupa waktu, sampai akhirnya jam  sudah menunjukkan pukul 03:30. Kamipun akhirnya melanjutkan perjalanan.
Karena jalur pos 6 ke pos 7 kebanyakan menurun dan landai, sehingga tak cukup lama berjalan, kami sudah sampai di pos7. Kemudian, beberapa meter kedepan, jalur Silanggaya ini, akhirnya bertaut dengan jalur dari Lembanna dan menyatu hingga kepuncak. Darisini perjalanan kami menjadi ramai. Karena,sudah banyak pendaki yang kami temui dan langsung saja kami saling bertegur sapa.Para pendaki yang kami temui tersebut, sebagian baru mau ke puncak Bawakaraeng dan sebagian sudah mau turun.

Jam 05:37 sore, kami sudah sampai di puncak Bawakaraeng, dan langsung turun menuju dimana kami akan mendirikan tenda untuk bermalam yaitu di pos 11, sebagaimana rencana awal. Hanya kurang lebih sepuluh menit kami pun sampai dan langsung saja kami mendirikan tenda. Setelah itu, Saya dan Angin pergi mengambil air-tepat di sebelah kanan turun sekitar 30 meter- untuk keperluan masak makan malam. Sembari menunggu masakan siap santap, terlebih dahulu perut kami janggal dengan makanan cemilan, karena sedari tadi meraung-raung minta diisi.

Jam 07:00, makan malam pun sudah selesai digelar, meskipun menunya hanya mie instan tumis di tambah nasi, namun itukami anggap makanan paling istemewa diatas gunung. Menu selanjutnya, kami akan bikin minuman Sarabba'. Kalian pasti sudah tau apa itu Sarabba' bukan! Ya sebuah minuman tradisional yang dibuat dari jahe, gula aren dan santan kelapa. Tapi pernahkah kalian membuatnya saat kalian mendaki gunung bersama sahabatkalian dan menikmatinya bersama?Hal itulah, yang juga membuat saya penasaran bagaimana rasa dan sensasinya, jika minuman yang satu ini dicicipi di atas gunung. Dan akhirnya, bahan-bahan untuk membuat sarabba saya ikutkan masuk di caarel. Tapi sebelumnya bahan-bahan tersebut sudah saya olah dan jadinya tinggal langsung di masak."Angngurai ri pallumi sarabbaiya? Tanya saya pada Ombak. "iyo pallumi kidde hari'i sallo kalukunna". Jawab Ombak. Saya pun mengeluarkan bahan-bahannya dari caarel yang saya bawa, yaitu gula aren, jahe dan kelapa yang sudah saya parut. "Korokinjo riolo golla ejaiya, jari sigai ili'". Sahut saya pada Ombak. Saya sendiri memasak air untuk santan kelapa. Sementara Angin, dari tadi sibuk merekam aktivitas kami malam itu.

mantapp.. ini dia sarabba romangnya wkwkwkw
Pukul 08:09, suhu dingin mulai terasa menembus ke tulang. Tapi berungtung, Sarabba Romang (begitulah ombak menamai sarabba buatan kami) yang dari tadi dimasak telah siap menghangatkan tubuh kami. "Ta'rereapiantu nai?". Sahut Ombak yang mulai tak sabar ingin mencobanya. "A'reremi, mingka passangi malling-mallling a'rere". Jawabku. "Awwe kua'minjohe ka elokkale matoa!" jawab Ombak. "Iyo' bela tasa'minjo!"Sahut juga Angin. "Alle pale mae cantennu he". kataku pada mereka berdua. Dan langsung saja Angin dan Ombak meletakkan kaca plastiknya di depanku minta dituangkan. "Aih tena angngerang tapisan?" tanyaku pada Ombak dan Angin. "Aih tena!' jawab Angin. "Botolo' aquaiya mo kontu mae haju"sahut Ombak memberikan saran ke saya. Sayapun mencari botol aqua tapi saya tidak melihat satupun botol aqua. Saya hanya menemukan kantong plastik mie dan itu yang saya bikin saring dengan membuat lobang-lobang kecil di bagian bawahnya. Mulailah saya menungkan sarabba tadi yang masih panas kedalam gelas secara perlahan. Tapi sayangnya penyaringan yang saya bikin tadi lobangnya agak kebesaran, sehingga banyak ampas sarabba yang lolos turun ke gelas. Tapi itulah pendaki, tidak ada rotan, akar pun jadi. "Nyamanji?" tanyaku pada Ombak yang lebih dulu mengalirkan sarabba di tenggorokannya. "Adada tanning dudui, nampa lohe garottongna". Jawab Ombak sambil membuang ampas sarabba yang memenuhi pinggir gelasnya. "Tanning dudu tojeki ba!" Sahut juga Angin."ka ri tamba'i do' pole susu, iya minjo na tamba tanning!" kataku sambil mencobanya juga. Jadilah malam itu, kami bertiga mengomeli sarabba buatan kami yang terlalu kemanisan. Tapi lucunya, sambil ngomel, sarabba di gelas kami sudah mau habis dituang ke mulut. Hhehehe

Tak terasa malam sudah larutbersamaan dengan larutnya beberapa gelas sarabba di tubuh kamiyang telah mengusir suhu dingin dan enggan kembali mengcengkramai tubuh kami.Kami bertiga pun, satu persatu mulai masuk ke sleeping bag masing-masing. Sementara, di luar tenda, angin sedikit berhembus menjatuhkan tetesan embunyang hinggap di dedaunan dan menimpa bentangan flyseet, hingga menghasilkan sebuahsimponi alam yang meninabobokkan kami.

Pagi menjelang, suara tetangga tenda sebelah membangunkan saya. Namun, udara dingin dipagi ini, membuat saya malas bangun dan keluar dari sleeping bag. Sementara Ombak dan Angin lagi sibuk memasak kembali sisa sarabba tadi malam. Rupanya mereka berdua sudah dari tadi bangun. "We ambaung mako angnginung sarabba". Sahut Ombak pada saya. "Ummm". Gumanku. Sebenarnya,  saya masih ingin melanjudkan tidurku, tapi kami rencana melanjutkan perjalanan ke Lompobattang pada jam 08.00. terpaksa saya bangun. Tapi karena diluar,cuaca lagi berkabut, saya tidakjadi keluar tenda dan hanya tinggal dudukmemandangi keluar kabut rapat yang membuat pagi terlihat seperti masih malam. Tanpa cuci muka, saya langsung meneguk sarabba yang sedari tadi ada didepanku. "Angngura na nyamanmo sarabbanu ke' tenamo na lolo tanning" gumanku sambil meneteng segelas sarabba. "maingi ku tambai sikoddi ere" sahut Ombak.
Pukul 08.17, kabut perlahan tersibak. Sementara, sinar mentari seketika membuat embun yang hinggap di dedaunan berkilau bak butiran mutiara. Pagi ini, kami sengaja tidak memasak sarapan pagi, karena sarabba dan biskuit tadi sudah kami anggap cukup mampu membawa kami sampai di lembah Karisma, dimana rencananya kami akan makan siang sesampai disana.

Tiba-tiba salah satu pendaki yang camp di sebelah tenda kami yang nampaknya sudah mau turun datang menghampiri tenda kami dengan membawa kantong plastik warna hitam "Masih mauki bermalam kanda". Tanya dia pada kami. "Iye" jawabku. "Oh ini paeng rangsum kita ambilmi, karna mauma saya pulang". Katanya sambil memberikan kantong plastik pada sayayang dibawanya tadi . "oh iye terimakasih banyak" kataku sambilsenyum ramah ke dia. "Kita orang mana'? Tanyaku pada dia. " Orang Sinjai". Jawabnya. "Oh hati-hatiki paeng" kataku. "Iye kanda"jawabnya."Waduhh kayak saya kelihatan tua diimatanya, kenapa dia memanggil saya kanda". Gumanku dalam hati.Kini saatnya kembali packing, kemudian melanjutkan perjalanan. Ditengah kesibukan kami mempacking barang bawaan, beberapa pendaki amatiran lewat disamping tenda kami, mungkin mereka mau ke pos 12 atau pos 13 untuk hunting foto.

Jam 09.16, kami melanjutkan perjalanan.Medan jalur ke pos 12 sangat terbuka, hanya di tumbuhi rumput ilalang dan bunga edelwis serta bebatuan, sedang di sisi kiranya terdapat jurang yang sangat dalam. Hanya butuh waktu 20 menit, kami sudah sampai di pos 12. Dan benar saja, rombongan pendaki tadi sedang asyik foto bersama. Di pos ini memang tak kalah bagusnya di puncak Bawakaraeng dijadikan backround foto, karena disini kita bisa melihat kebawah hamparan lembah ramma',dan jalur pos 13 yang terkenal keekstrimannya, karena jalurnya sempit dan sisi kiri kanannya terdapat jurang yang siap menerkam.Dan itulah kenapa masyarakat sekitar menyebutnya Letean Sirat, yang artinya jalur ini sama dengan jembatan siratal mustakim yang ada di Neraka.hahaha

Sesampai di pos 12, kami langsung melanjutkan perjalanan, melewati batu-batu besar. "Ada korek apita?" tanya dua pendaki pada kami. "Iye ada". Jawabku sambil mengambil korek api dalam reemback yang saya bawa. " makasih banyak ye'" kata pendaki tadi sesudah menyalakan rokoknya dan mau mengembalikan korek api saya. "Iye sama-sama" jawabku. "Mauki bermalam di pos 13?" tanya pendaki pada saya sambil menghisap rokoknya. Sementara Ombak dan Angin sudah jauh berjalan didepan."Ah tidak, kami mau ke Gunung Lompobattang" jawabku. "Lewat manaki"? Tanya lagi pendaki sedikit keheranan. "Lewat ini... lewat jalur yang biasa dilalui orang kalau mau ke Lompobattang. Saya jalan dulu paeng" jawabku sambil melanjutkan perjalanan. Baru berjalan beberapa meter kedepan, saya sudah dapati Ombak dan Angin, nampak kesusahan mau menuruni batu besar. Disitu kita harus menurungkan carrel baru bisa lewat. "Taroi riolo tasi'nu?" teriak saya dari belakang. Jalur pos 13 ini, memang sangat susah dilewati kalau kita membawa carrel, karena sesekali kita harus menurungkan carrel. Tapi, untungnya disisi kiri sudah ada jalur kompas turun. Jadi, kita lebih mudah melewati pos ini. Bersambung....hehehehe
?hehehe
Tunggu kelanjutan cerita perjalanan kami... Ma'af kalau tulisan saya masih acak-acakan, maklum tulisan perdana..

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS