Filosofi Hidup Dari Mendaki Gunung atau Pecinta Alam
Alam akan mendengar apa yang kita ucap, jika kita rendah hati terhadapnya, maka alam pun akan lirih menerima kehadiran kita. Ego yang menggebu-gebu justru akan menyelakan kita saat diatas gunung. Sekali lagi mungkin kata ini pantas disampaikan kepada para pendaki yang ambisius ingin menggapai puncak namun masih banyak keterbatasan. “Puncak hanyalah bonus, kembali kerumah dengan selamat adalah tujuan utama”.
Kegiatan naik gunung di mata saya dapat diibaratkan sebagai suatu proses dalam menjalani kehidupan. Ada banyak tahapan proses kehidupan yang mungkin dapat diambil hikmahnya melalui aktivitas yang satu ini.
Dalam suatu perjalanan hidup, cita-cita terbesar adalah menuju kesempurnaan. Terkadang hidup itu penuh dengan halangan dan rintangan , serta belajar menggali segala rahasia kehidupan.
Perjalanan menuju cita-cita adalah proses yang menentukan setiap langkah kita. Setiap nafas serta detak jantung kita.
Setiap manusia mempunyai hak sama dalam memanfaatkan waktu dan dalam pengambilan keputusan akan dibawa kemanakah hidup kita ini. Hal ini berbanding lurus dengan pengalaman yang sudah saya rasakan saat mendaki gunung .
Hidup ini merupakan proses pembelajaran menuju lebih baik dan memahami akan cinta yang Tuhan berikan buat manusia di dunia ini.
Berikut Filosofi Kehidupan dari Naik Gunung yang admin lansir dari Forum Kaskus:
1. MENENTUKAN TUJUAN
Hal paling utama dari hidup seseorang adalah menentukan akan dibawa kemana dan akan dibuat seperti apa kehidupan seseorang tersebut.
Hal ini menggambarkan sebelum pendaki mencapai cita cita menaklukan gunung tentu sang pendaki tersebut harus menentukan salah satu dari banyak gunung yang ada serta kita harus menggali informasi tentang gunung tersebut dengan gunung yang memang cocok dengan karakteristik diri kita, jika hal pertama ini kita salah dalam menentukanya bisa jadi disaat perjalanan kita akan tersesat.
Pelajaran pertama adalah dalam suatu perjalanan hidup seseorang harus memilih dari sekian banyak pilihan hidup yang ada dan kita memang dituntut memilih apa yang memang sesuai dengan diri kita.
2. MENCARI TEMAN
Setelah kita menentukan suatu tujuan yang ingin dicapai tentu kita tak bisa hanya dengan kekuatan diri sendiri melainkan kita harus mencari seseorang dengan satu tujuan yang sama dan mempunyai suatu komitmen didalam diri untuk bersama menaklukan tujuan tersebut.
Sama halnya didalam perjalanan pendaki, tentu saja sangat dianjurkan untuk mencari teman dalam perjalanan dikarenakan manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup secara individual.
Pelajaran hidup yang kedua adalah dalam mencapai suatu cita cita kita pasti akan membutuhkan orang lain jadi disini sebelum mencapai tujuan tersebut kita harus cerdas dalam kehidupan bersosialisasi dengan orang lain.
3. PERSIAPAN
Tentu didalam setiap suatu perencanaan harus ada suatu persiapan yang sangat matang karena faktor ini akan mempengaruhi berhasil tidaknya suatu tujuan.
Sama halnya dalam mendaki gunung , seorang pendaki akan dituntut persiapan yang baik dari fisik sampai dengan peralatan yang akan dibawa jikalau seorang pendaki tidak mempersiapkan dengan matang bisa jadi didalam perjalanannya akan tidak sesuai apa yang diharapkan.
Dari penjelasan diatas dalam suatu tujuan hidup kita harus benar benar mempersiapkan sedari dini bisa jadi kalau kita tidak mempersiapkan untuk menempuh tujuan tersebut kita akan melenceng jauh dari apa yang sudah kita persiapkan dari awal.
4. START MENDAKI
Jika semua selesai dari perencanaan sampai yang terakhir persiapan tentu kita dihadapkan dengan suatu keputusan apakah masih ingin melanjutkan untuk menggapai anggan anggan tersebut atau berhenti sampai disini.
Jika kita lihat dari gambaran pendakian gunung tentu seorang pendaki akan melihat kembali kemampuan diri dan persiapan yang sudah dimilikinya apakah sudah layak dan siap untuk menaklukkan gunung tersebut atau apakah akan berhenti dan memilih mundur melihat banyak pendaki yang turun dari gunung tersebut yang terlihat lesu. Disini suatu kebijakan dari seorang pendaki akan diuji apakah dia akan lanjut atau berhenti.
Dari gambaran diatas didalam hidup manusia pasti akan menemui fase dimana seseorang harus memilih, jika seseorang melihat banyak contoh orang yang gagal dalam suatu pencapaian tujuan maka otomatis akan memberikan sugesti negatif kepada orang tersebut akan tetapi jikalau seseorang tersebut sudah merencanakan dengan mantap disertai persiapan yang matang maka dia akan melanjutkan perjalanan mencapai tujuan hidup tersebut.
5. PERJALANAN
Jika memang kita mantap melanjutkan mencapai sesuatu yang kita rencanakan maka kita akan melanjutkan dengan sekuat tenaga perjalanan dalam pencapaian cita cita . Didalam hidup manusia pasti tidak akan mulus mulus saja pati akan ada suatu rintangan dan hambatan yang selalu menguji seberapa kuat diri kita.
Sama halnya dengan mendaki gunung didalam perjalanannya seorang pendaki tidak akan menemui perjalanan yang landai saja akan tetapi akan dihadapkan dengan menaiki tanjakan menuruni lembah hingga harus bisa menjaga keseimbangan melewati berbagai lereng yang curam serta kita akan dihadapkan dengan kabut serta cuaca yang ekstrem,
Maka dari itu filosofi hidup yang bisa kita dapatkan adalah didalam setiap perjalanan untuk mendapatkan suatu tujuan kita tidak akan hanya dihadapkan dengan jalan yang mudah aja tapi kita harus bisa menghadapi halangan dan rintangan serta godaan dari orang lain. Dari penjabaran tentang proses mendaki tersebut bila kita gambarkan bahwa dalam proses mendaki itu adalah perjuangan, lembahnya adalah landasan iman kita, kabut dan cuaca ekstrem serta jurang adalah ujian kita.
6. ISTIRAHAT
Tentu saja didalam kehidupan ini pasti akan ada saatnya kita mulai merasa lelah menjalani rangkaian kehidupan ini. Kita perlu sejenak memenangkan pikiran kita untuk melanjutkan peralanan hidup yang akan datang.
Mendaki sebuah gunung juga pasti ada masa dimana kita harus merebahkan tubuh kita sedikit mengisi energi yang telah terkuras selama perjalanan tersebut.
Dalam hal ini di kehidupan nyata sangat terasa dimana kita dihadapkan berbagai ujian yang seakan datang bertubi tubi dan kadang kala kita merasa putus asa maka disini kita akan dihadapkan pada pencapaian yang seakan sia sia
7. Perjalanan Menuju Puncak
Sama halnya setelah hampir kita merasa putus asa pasti entah darimana kita termotivasi untuk melanjutkan perjalanan yang telah kita tempuh tersebut agar tidak sia sia.
Di dalam pendakian gunung hal ini merupakan hal penentu dimana seseorang dikatakan sukses dalam pendakian dilihat dari pencapaian akhirnya. Di perjalanan terakhir ini seorang pendaki tak akan membawa carrier lagi melainkan hanya akan membawa daypack saja untuk perbekalan. Semua perbekalan yang dirasa kurang tepat dan akan mengganggu akan ditinggal di pos terakhir dan semua ini membuat seorang pendaki terfokus dalam satu tujuan dengan perbekalan yang tepat.
Didalam kehidupan nyata hal ini adalah proses terakhir seseorang mewujudkan cita citanya dan disini orang yang dulunya mencari berbagai pengalaman hidup akan memilah pengalaman dan ilmu apa yang cocok dalam perjalanannya tersebut.
8. PUNCAK
Yang namanya puncak adalah pencapaian atau prestasi tertinggi yang diraih seseorang di posisi ini biasanya akan lebih menghormati jerih payahnya dalam perjalanan menuju titik ini dan disini orang akan melihat jerih payahnya dan bisa mengambil manisnya kehidupan.
Didalam pendakian memang puncak bukanlah tujuan sebenarnya akan tetapi disini tolak ukur perjuangan seorang pendaki dikatakan berhasil dimana seorang pendaki bisa sampai pada titik terakhir yaitu puncak. Di titik ini biasanya seorang pendaki disuguhi hamparan samudra awan serta melihat khatulistiwa dan seorang pendaki akan menengok kebawah untuk melihat alan pencapaian puncaknya .
Didalam kehidupan sebenarnya seseorang yang sudah mendapatkan posisi tertinggi dalam hidupnya biasanya akan menengok kebawah perjalanan panjang dalam kehidupan sebagai rasa bangga kepada diri sendiri yang sudah susah payah dalam perjalanan panjangnya sehingga bisa ada di titik ini. Di titik ini kita tak boleh terlena atas pencapaian ini akan tetapi sebenarnya kita harus sadar kita tak boleh berlama lama karena sesungguhnya titik terakhir itu adalah alam yang lain.
Sumber:
https://3gindonesia.id/read/2016/03/filosofi-hidup-dari-mendaki-gunung-atau-pecinta-alam/
SELUK-BELUK LEMBAH TERBUANG
![]() |
foto pendakian bersama Mt. Kalimbungan+ Lembah Terbuang 25-26 2015 |
Tapi kebanyakan orang tidak puas dengan alasan diatas khususnya bagi para penikmat alam bebas, mereka ingin mengetahui lebih rinci seputar tempat tersebut. Salah satunya KPA SPALA GOWA yang merasa tidak puas atas alasan diatas, serta rasa penasaran yang menghinggapi diri menekankan, ditambah lagi ketika mereka menemukan disekitar tempat tersebut sebuah pagar batu yang dianggap sudah berumur ratusan bahkan ribuan tahun, serta banyak ditemukan pohon markisa. Disaat itulah mereka yakin bahwa manusia pernah tinggal ditempat itu.
Dengan rasa penasaran yang terus menghinggapi maka, Kpa Spala, melakukan penyelidikan dan mencari tahu sejarahnya, dengan cara bertanya pada masyarakat sekitar. Akan tetapi mereka dibuat bingun sebab, jawaban yang diberikan oleh masyarkat bermacam-macam. Ada yang mengatakan bahwa peddakia dulu dijadikan tempat persembunyian dijaman penjajahan, ada yang mengatakan bahwa tanah dipeddakia mengandung minyak, ada juga yang mengatakan bekas longsor, bahkan ada yang mengatakan tempat tersebut pernah dijadikan tempat sabung ayam dan itulah kenapa tidak ditumbuhi pepohonan.
Tapi semua jawaban atau alasan diatas sangat lemah dan tidak dapat diterima karena, tidak ada yang dapat dijadikan bukti, berupa bekas atau benda-benda peninggalan disekitar tempat peddakia.
Seiring berjalannya waktu, Kpa Spala terus berusaha mencari informasi seputar peddakia yang dapat dipercaya. Hingga pada akhirnya mereka menemukan titik terang dan rasa penasaran yang selama ini menghantui mereka hilang, ketika Asri atau biasa dipanggil Gappank sebagai salah satu anggota Kpa Spala yang pernah di Diksaltar di Peddakia, tanpa sengaja menceritakan pengalamannya kepada Neneknya,yang bernama Dg. Tebong waktu melakukan praktek navigasi bersama tim kelompoknya, pada waktu itu dia menemukan sebuah Gunung yang tidak jau dari Peddakia. Diapun menanyakan nama Gunung yang dia temukan kepada neneknya, dan nama gunung itu adalah BONTO KALIMBUNGAN/BULU’ KALIMBUNGAN. Disaat itupula beliau menceritakan kepadanya bahwa ratusan tahun yang lalu, peddakia pernah dijadikan tempat tinggal oleh saudara orang tua neneknya, yang bernama PASSEGAI dan JUMBA nama istrinya. Dan untuk bertahan hidup ditempat itu dia bercocok tanam di lereng Bulu’ Kalimbungan. Akan tetapi sepasang suami istri ini tidak bertahan lama tinggal di Peddakia, karena pada saat pertama kali dia menanam Jagung, masa pertumbuhannya sangat lambat sekali, sebab jagung yang dia tanam bisa di panen saat berumur delapan bulan, padahal jagung biasanya sudah bisa dipanen saat berumur tiga bulan. Kemudian dia menggantinya dengan menanam Keladi, tapi hasilnya masih tetap sama, masa pertumbuhannya masih tetap lambat, sebab umurnya sudah tujuh bulan tapi daunnya baru tujuh lembar.
Hingga pada akhirnya dia memutuskan untuk pergi meninggalkan Peddakia, karena dia berfikir tidak akan bisa bertahan hidup ditempat itu lagi, sebab makanan yang tersedia dirumahnya sudah lama habis, dan tidak ada tanaman lain yang bisa dipanen.
Dengan adanya sejarah diatas, maka Kpa Spala berniat menambah nama Peddakia menjadi Lembah Terbuang atau Peddakia. Kami sengaja tidak menghilangkan nama peddakia dengan alasan menghargai dan melestarikan nama yang diberikan oleh orang tua kita dulu. Kami juga menambahi nama Peddakia dengan Lembah Terbuang, dengan berbagai alas an. Karena disamping ada sejarahnya yng berkaitan dengan nama yang kami berikan, kami juga ingin memperkenalkan dan mempopulerkan kepada orang-orang, khususnya bagi para pecinta alam, bahwa ditempat kami, tepatnya di Desa Kanreapia, Kec. Tombolopao ada juga tempat yang strategis dijadikan tempat camp, sekaligus tempat pendiksaran.
Kemudian jarak yang ditempuh menuju ke Lembah Terbuang, hanya memakan waktu sekitar satu jam. karena jalur yang dipakai adalah jalur Kpa Spala yang tembus ke Gunung Bawakaraeng dan letak Lembah Terbuang, tepat berada di Pos Dua di jalur Kpa Spala. Jadi bagi sahabat alam yang ingin ke Gunung Bawakaraeng, tidak ada salahnya jika anda mau mencoba memakai jalur kami, sekalian anda bisa camp di Lembah Terbuang untuk menikmati keindahanya dan besoknya anda bisa melanjutkan perjalanan ke Puncak. Kalau masalah leader teman-teman tidak usah khawatir, karena kami siap menjadi leader.
Mengapa Kita Harus Naik Gunung?
Mengapa Kita Harus Naik Gunung?
Oleh: Dimas Putra Ramadhan
Manusia selalu takut akan bencana serta kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan olehnya namun tanpa disadarinya kerusakan yg paling parah justru berasal dari dalam manusia itu sendiri. Alam bisa mengontrol dirinya sendiri sementara tanpa kita sadari bencana kemanusiaan yang paling parah justru berasal dari manusianya itu sendiri.
Sosok pencinta alam sebagaimana yang kita ketahui adalah sosok yang diharapkan bisa menjadi pelopor dalam menjaga serta melestarikan alam beserta kehidupan didalamya mencakup bagaimana dalam berpola serta berprilaku dalam kehidupan sehari-hari. Namun ironisnya, sebagaimana yang kita lihat dalam realita yang sementara berkembang justru sosok pencinta alam tidak (ataukah belum) berada dalam kondisi yang kita harapkan bersama.
Tidak ada yang salah dengan PENCINTA ALAMnya, sosok yang berada dalam PENCINTA ALAM tersebut yang tanpa dia sadari yang bertingkah seolah peduli namun kenyataannya tidak ambil pusing sama sekali akan keadaan tersebut. Alih-alih peduli akan Alam, peduli akan dirinya sendiri pun kita mungkin sepakat untuk mengatakan tidak!!! Apakah betul bisa kita katakan peduli apabila masih ada yang juga sosok pencinta alam yang masih mengkonsumsi minuman keras dan obat-obatan terlarang? Apakah ini yang kita namakan cinta?? tak ada dasar sama sekali akan hubungan yang simetris tentang menjaga kelestarian lingkungan beserta kehidupan didalamnya dengan masih mengkonsumsi barang-barang haram tersebut.
Belum lagi pengetahuan yang mendasar terkadang hanya dijadikan sebagai materi yang merupakan PROGRAM KERJA tanpa disadari akan pentingnya untuk dimiliki bagi setiap sosok tersebut. Bagaimana bisa untuk berbuat kalau kita tak tahu dan sama sekali tak paham? Maka yang ada di dalam kepala sosok tersebut hanyalah bagaimana untuk bisa SURVIVE ataukah keterampilan-keterampilan lainnya tanpa pernah mau untuk menyadari untuk apa dia harus pahami pengetahuan akan keterampilan tersebut. Apakah sosok pencinta alam tidak lagi harus belajar untuk mengetahui hal-hal yang lain selain daripada sekedar materi-materi ke-pencintaalam-an??
Sosok pencinta alam seolah-olah menjadi momok yang sangat menakutkan dalam setiap sisi kehidupannya. Arogansi, solidaritas buta, dan sebgainya bisa kita temukan di dalam sosok tersebut. Bagaimana tidak? Untuk bisa menjadi sosok pencinta alam harus melalui proses “diklat (atau apapun namanya)” yang notabene kekerasan bahkan ”MENCABUT HAK ASASI MANUSIA” bisa kita temui di dalamnya. Berarti setiap sosok pencinta alam bisa berpeluang untuk menjadi penjahat Hak asasi manusia? Sangat kontradiksi dengan kata CINTA yang ada didalam nama PENCINTA ALAM tersebut.
Tak ada yang salah dengan PENCINTA ALAM, yang (mungkin) salah adalah sosok-sosok yang dengan bangganya kebetulan berada didalamnya yang dengan kebanggaannya tak mau lagi mengerti apalagi sadar untuk apa dia berada didalam organisasi yang sebenarnya suci tersebut, yang (mungkin) salah adalah sosok-sosok yang dengan bangganya kebetulan berada didalamnya yang dengan kebanggaannya tak mau lagi untuk mendengar saran serta kritikan-kritikan dari luar seolah Cuma sosok pencinta alam saja manusia yang hidup. MANUSIA adalah Khalifah yang diturunkan untuk menjaga dan melestarikan Alam beserta seluruh kehidupan didalamnya, dan sosok pencinta alam bukanlah satu-satunya manusia di muka bumi ini. Seluruh warga bumi berhak untuk menjaga dan melestarikan Alam beserta seluruh kehidupan didalamnya.
Percuma naik gunung jikalau menaklukkan diri sendiri saja sulit untuk dilakukan. Seharusnya segala sisi-sisi kelam manusia bisa dikeluarkan bersamaan dengan bercucurannya keringat yang menetes dalam perjalanan menuju ke puncak gunung. Puncak gunung yang sebenarnya justru berada dalam diri manusia itu sendiri.
Rasa-rasanya memang betul perlu ditinjau kembali mengapa setiap sosok pencinta alam harus ke puncak gunung padahal alam bukan hanya gunung saja dan pencinta alam bukanlah pencinta gunung. Seharusnya setiap sosok pencinta alam mulai sekarang harus bisa untuk membuka mata dan hati untuk bisa melihat bahwasanya untuk menjaga serta melestarikan alam beserta kehidupan didalamnya harus berarti pula untuk bisa menjadi khalifah yang baik. Maksudnya, semoga bisa menjadi teladan yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Mulai untuk membuka mata bahwasanya dengan memperhatikan manusia lain beserta kondisi disekelilingnya hal itu berarti langkah awal untuk menuju ke puncak gunung yang sebenarnya. Bukan puncak gunung yang biasa kita daki bersama.
Jikalau tak berbenah dan segera mengevaluasi diri, bukan tidak mungkin PENCINTA ALAM bisa kehilangan kesuciannya didalam perjuangan yang sebenarnya mulia ini. Bagaimana di satu sisi bisa memanusiakan manusia dalam sebuah konteks kaderisasi dan sementara disisi lain berperan aktif didalam tugasnya sebagai khalifah di muka bumi ini. Salam untuk sebuah perubahan yang kecil menuju sebuah perubahan yang lebih besar. Mulia ataukah hinanya sebuah organisasi berawal dari kesadaran-kesadaran penghuninya yang membawa nama baik organisasinya. Karena sebenarnya kesalahan-kesalahan sosok bisa diindikasikan sebagai suatu kesalahan-kesalahan organisasi yang menaungi sosok tersebut. Berpijak dari hal yang kecil untuk kemudian dihadapkan dengan realita-realita dan membentuk sebuah kesadaran kritis dalam berpola serta berprilaku dalam kehidupan sehari-hari. Semoga ide-ide yang tulus akan selalu selaras dengan realita-realita yang baik.
Salam Lestari. Never stop exploring and loving!
Sumber:
https://gispala.wordpress.com/2012/12/04/sebaiknya-renungkan-kembali-mengapa-kita-harus-naik-gunung/
Apa yang Kau Cari, Hai Pendaki?
Oleh: Dimas Putra Ramadhan
Lewat obrolan virtual itu kau bertanya tentang petualangan-petualanganku. Tentang seberapa banyak puncak tinggi yang pernah kugagahi. Juga tentang seberapa luas rimba raya yang telah kucumbui. Selebihnya kau hanya bercerita tentang petualanganmu saja, tanpa titik koma. Padahal jika bisa kau tatap mataku saat itu, tentu kau akan tahu jika sebenarnya aku enggan mendengar ceritamu.
Beberapa tahun yang lalu aku juga sama sepertimu kawan. Ketika secarik kain berwarna ungu itu baru saja melingkar di leherku. Saat benak ini hanya dipenuhi oleh satu obsesi. Mendaki, mendaki dan mendaki, itu saja. Namun, di tengah perjalanan akhirnya aku baru sadar akan sesuatu. Tak harus menjadi seorang pencinta alam, jika kau hanya ingin berpetualang! Sebab, mendaki sebenarnya bisa dilakukan oleh siapa saja. Bukan hanya aku atau kamu, tapi juga mereka.
Kurasa mendaki itu cuma butuh tiga hal saja kawan. Duit yang cukup di tangan. Sedikit ketrampilan serta kekuatan. Dan, yang terpenting adalah belas kasihan. Yah, belas kasihan, itu yang paling dibutuhkan oleh seorang petualang. Bukankah karena sebuah belas kasihan Tuhan, puncak tinggi itu bisa kita gapai dengan tangan? Bukankah karena setitik sifat Rahman-NYA pula kita bisa selamat pulang, dan kembali berkumpul dengan keluarga?.
Kawan, mendaki itu bukan sebatas menumpuk dokumentasi di situs jejaring pribadi. Bukan pula ajang pembuktian sebagai seorang pencinta alam yang jantan. Jika itu saja yang ada dalam pikiranmu, kurasa kau masih belum memahami esensi dari mendaki. Dari setiap cucuran keringat, disitu ada mutiara hikmat. Dalam setiap perjalanan, disitu pula ada makna pelajaran tentang kehidupan.
Saat kau dirundung gila tenar dan sanjung. Cobalah untuk berdiri di puncak tinggi itu. Lihat kawan, adakah sorak sorai tepuk tangan penonton yang mengitarimu. Adakah spanduk “selamat datang” yang menyambutmu? Mungkinkah pula ada sebuah tropi yang bisa kau angkat tinggi-tinggi sebagai tanda kemenanganmu?
Saat kau di puncak tinggi itu, mungkin saja kau merasa lebih tinggi dari segalanya. Coba tengok di sekelilingmu. Kanan, kiri dan juga yang ada di atasmu. Lihat, bandingkan dirimu dengan bentang alam yang menghampar di sana. Bayangkan dirimu ada diantaranya, itulah sebenarnya dirimu. Kau tak lebih hanyalah sebuah noktah yang mungkin tak nampak jika ditatap dari kejauhan. Masihkah kau merasa lebih tinggi? Jadi, kenapa kita merasa seakan mampu memegang matahari? Bukankah di atas langit masih ada langit kawan? Tak mungkin kita mampu menggapai matahari itu. Bahkan untuk menatapnya saja, kau tak akan kuasa oleh silaunya.
Berada di puncak yang paling tinggi, bukan berarti kita telah menjadi pemenang sejati. Jangan lupa kawan, semakin tinggi tempat kita berdiri, semakin kencang pula angin yang menerpa di kanan kiri. Posisi tinggi dalam kehidupan bukanlah jaminan tidur kita akan menjadi aman sekaligus nyaman. Sebab, bisa jadi ada angin dari luar sana yang akan menerpamu secara bertubi-tubi. Sekencang-kencangnya, tanpa kau sadari dari arah mana datangnya. Bahkan acapkali angin itu mencoba menjatuhkanmu hingga posisi serendah-rendahnya. Tapi, santai saja kawan. Bukan itu yang perlu kamu takuti. Jadikan saja ikhlas dan sabar sebagai tameng untuk menahan terpaan angin di luaran sana.
Kuhanya takut hembusan angin kecil dalam diri yang justru akan menggoyahkan kaki penopang kita berdiri. Tiupan angin dalam hati bernama sombong, riya’ dan dengki, itulah yang harus kita waspadai. Jangan biarkan tiupan itu semakin berhembus, menerobos dinding hati ini. Sebab, jika itu menjadi kebiasaan, bisa jadi akan menjadi sindrom saat usia senja nanti. Saat rambutmu telah dipenuhi uban, kau masih saja sibuk berebut pujian. Saat keriput mulai membalut kulitmu, kau pun masih saja bernafsu memburu jempol-jempol itu.
Kawan, bukan berarti aku antipati pada kata-kata mendaki. sebab, hingga hari ini petualangan itu masih kusenangi. Mungkin saja aku sedang jemu untuk melakukannya. Seperti halnya kejemuanku pada dunia abstrak yang sedang kulakoni lewat layar mini ini. Mungkin ada baiknya kita berbincang tentang hal yang lain saja. Sesuatu yang lebih pencinta alam tentunya. Tentang periculum in mora. Atau tentang alam raya yang butuh sentuhan sayang dari tangan kita. Kenapa kita enggan perbincangkan jernih sungai yang sekarang berubah bak comberan? Kenapa kita tak berdiskusi lagi tentang burung-burung yang enggan bernyanyi kala pagi hari?
Mungkin lain waktu kubiarkan ransel gunung itu kembali memijat lembut punggungku. Mungkin lain hari aku akan kembali mendaki sepertimu. Tapi, tentu saja bukan bermaksud untuk menjadi yang lebih tinggi, atau mungkin meninggi. Sebab, mendaki itu kulakoni ‘tuk sekedar mengasorkan diri.
Salam Lestari !
Sumber: https://gispala.wordpress.com/2013/07/15/apa-yang-kau-cari-hai-pendaki/
Jika Mengaku Suka Mendaki dan Peduli Lingkungan, 7 Perilaku Ini Wajib Kamu Lakukan Saat Mendaki Gunung.
“Jangan tinggalkan apapun selain jejak, jangan bunuh apapun selain waktu, dan jangan ambil apapun selain gambar.”(Etika Pendakian)
Mendaki gunung adalah kegiatan outdoor yang belakangan ini makin banyak peminatnya. Banyak alasan kenapa seseorang mendatangi gunung, mulai dari alasan bijak nan filosofis, sekadar eskapis, ingin menikmati alam, atau yang memang hanya ingin mendaki, serta alasan subjektif lainnya.
Sah-sah saja tiap individu memiliki alasan apapun, tak perlu kita bersikap nyinyir jika kita mendapati pendaki yang memiliki alasan hanya mengikuti tren apalagi ditunjang dengan kostum serta equipment yang jauh dari safety standart, karena yang jauh lebih harus diperhatikan adalah bagaimana para pendaki itu tetap menjaga kebersihan dan kelestarian alam.
Sayangnya, semakin hari semakin banyak orang yang melakukan pendakian ke gunung tidak disertai dengan kesadaran untuk menghormati lingkungan. Masih ada perilaku tidak baik dan cenderung tidak bertanggung jawab yang dilakukan beberapa pendaki yang bisa merusak ekosistem, untuk contoh yang jelas adalah membuang sampah sembarangan.
Keadaan seperti ini semakin darurat, sehingga perlu ditumbuhkembangkan kesadaran untuk berperilaku menghormati diri sendiri, orang lain serta alam selama pendakian. Jika kamu ngaku suka mendaki dan cinta alam, berikut 7 perilaku yang wajib kita indahkan ketika mendaki gunung:
1. Sampahmu adalah tanggung jawabmu, jangan jadikan gunung sebagai tumbalnya. Kemasi sampahmu, bawa kembali ke bawah, dan buanglah pada tempat sampah.
“Gunung Bukan Tempat Sampah”, kalimat yang sering kita baca dan dengar, tapi tetap saja kita masih menemukan sampah menumpuk bahkan berceceran di gunung. Kesadaran untuk tidak membuang sampah sembarangan serta kesadaran untuk membawa semua sampah kita kembali ke bawah masih kurang.
Sebut saja Ranu Kumbolo, di sebelah barat tak jauh dari pos, akan banyak kita jumpai sampah, atau Gunung Lawu, dan yang terbaru dan parah adalah sampah di Pulau Sempu. Enggak peduli siapapun kalian, sekeren apapun penampilan kalian, kalau kalian membuang sampah sembarangan, apalagi di gunung, maka itu perbuatan yang nggak keren sama sekali, sungguh kebiasaan yang buruk, merugikan, dan memalukan.
Sampah-sampah yang dibawa oleh para pendaki gunung sebagian besar adalah sampah berupa plastik botol, bungkus dan styrofoam, puntung rokok dll. Sampah plastik butuh waktu 500-1000 tahun untuk bisa terurai oleh mikroorganisme, sedang styrofoam tidak bisa terurai sama sekali. Bisa bayangkan jika itu menggunung hingga berbentuk piramida di tempat-tempat terindah yang ada di muka bumi ini?
Sampah-sampah tersebut menyebabkan polusi tanah, sehingga struktur tanah perlahan akan rusak dan tidak lagi subur. Belum lagi jika sampah-sampah tersebut mencemari pasokan air tanah di gunung. Masih tegakah kita mencemari alam yang selama ini keberadaannya berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup kita? Mari kita pikirkan baik-baik.
2. Selalu bawa trashbag agar sampahmu tak berceceran. Kalau perlu, pungut juga sampah-sampah yang kamu temui selama pendakian.
Trashbag atau kantung sampah, salah satu perlengkapan yang wajib dibawa selama pendakian, baik bagi mereka yang melakukan solo hiking atau yang berkelompok. Minimal dalam satu kelompok ada satu trashbag. Fungsinya apa? Sudah jelas untuk menampung sampah-sampah kita selama di gunung, serta sampah-sampah lain yang kita temukan selama pendakian.
Jika kita sudah tahu betapa daruratnya sampah-sampah yang sengaja ditinggalkan oleh para pendaki lain, alangkah baiknya jika kita langsung bertindak. Paling tidak kita tidak ikut membuang sampah. Ini adalah bentuk cinta dan kepedulian kira paling konkret kepada gunung dan lingkungan alam. Tak ada gunanya jika kita cuma mengeluh dan mengutuki para pendaki lain yang seenaknya buang sampah.
Mulai dari diri sendiri, paling tidak teman-temanmu akan mulai mecontoh tindakanmu ini. Jadilah pelopor pendaki gunung benar-benar peduli dan mencintai alam. Jika kamera profesional yang lumayan berat saja kita sanggup membawanya, kenapa kita malas-malasan membawa turun sampah-sampah yang kita temui di gunung?
3. Tegur secara halus mereka yang membuang sampah sembarangan.
Tak harus menjadi pegawai Perhutani atau petugas Balai Konservasi, atau aktivis lingkungan untuk bisa menegur pendaki lain yang sedang membuang sampah sembarangan. Perilaku membuang sampah sembarangan adalah tindakan yang tidak bisa dibiarkan!
Penyimpangan perilaku ini bisa menular pada pendaki lain untuk melakukan kecenderungan serupa jika dibiarkan. Sekecil apapun sampah yang mereka buang, misal bungkus permen atau plastik pembungkus madu sachet-an, tetaplah itu sampah yang berpotensi merusak alam.
Tegur dengan kalimat yang baik dan sopan, kalau ditegur baik-baik malah nyolot, hajar saja langsung pendaki tersebut, itupun kalau kalian berani. Kalau tidak berani ya sudahlah, ambil sampah yang dia buang masukkan ke trashbag yang kita bawa. Tak perlu diceramahi betapa kita harus menjaga kebersihan, memberi contoh dengan perbuatan sepertinya adalah hal yang lebih baik dan lebih soutif.
4. Pastikan tujuanmu mendaki gunung adalah untuk menikmati keindahannya, bukan untuk berburu dan membunuh satwa-satwa di sana.
Ini bukan era seperti di film Apocalypto, jadi enggak usah berburu binatang untuk bisa makan, atau membunuh hewan apapun yang kita temui selama perjalanan. Selama hewan tersebut tidak sedang mengincar kita sebagai mangsa. Beda lagi cerita kalau ternyata posisi kita sedang terancam, maka dengan terpaksa kita harus melumpuhkan atau membunuh hewan tersebut.
Tujuan kita adalah mendaki, bukan berburu, jadi jika menemukan ayam hutan, burung, atau hewan lain yang bisa dimakan, tak usahlah kita sok keren dengan memburu mereka sebagai santapan makan siang atau makan malam.
5. Selalu berbuat baiklah pada alam dan gunung yang kamu tapaki, jangan merusak keindahan alamnya dengan memetik edelweiss atau vandalisme.
Atas nama cinta dan keabadian, Edelweiss adalah bunga yang seharusnya tetap berada di gunung, jadi enggak usah sok romantis dengan memetiknya sebagai oleh-oleh buat pacar atau orang yang kita sayang, atau meski hanya ingin kita simpan di sudut kamar.
Perilaku lain yang bisa merusak alam adalah mencabut atau memotong tanaman apalagi yang termasuk tumbuhan langka, menebang pohon, atau menggoreskan nama kita dan bahkan pacar kita pada batang sebuah pohon, itu bukan tindakan yang romantis, tapi norak, iya.. norak.
Kalian merokok? Itu terserah kalian, tapi jika kalian membuang puntung rokok sembarangan di hutan, apalagi yang masih ada nyala apinya, itu adalah perbuatan yang tak bisa ditoleransi, karena banyak kasus kebakaran hutan justru dipicu dari puntung rokok. Sekecil apapun tindakan yang sekiranya merusak dan merugikan alam, jangan pernah lakukan itu.
6. Jaga etika dan kesopanan selama pendakian, penting untuk saling menghormati sesama pendaki lainnya.
Etika dan kesopanan di sini tidak hanya mencakup level norma sosial, semisal melakukan tindakan asusila selama pendakian, tapi lebih ke tataran bagaimana kita berinteraksi dengan alam dan pendaki lain selama perjalanan. Larangan untuk tidak mengucapkan atau melakukan hal yang jorok atau tabu mungkin sudah sering kita dengar, tapi ada hal lain yang juga harus diperhatikan, yaitu menjaga keselarasan dengan pendaki lain.
Misal, saling menyapa atau sekadar bertukar senyum saat berpapasan, menawari makan atau minum saat kita sedang makan, atau saat malam mulai larut ketika beberapa pendaki sudah banyak yang istirahat dalam tenda masing-masing, maka kita tak harus bercanda dengan teman dengan suara yang keras sambil tertawa terbahak-bahak. Kita bebas melakukan itu tapi ada hak orang lain juga yang harus kita hormati. Sebuah kebebasan yang bertanggung jawab.
7. Satu lagi sebagai catatan: Gunung bukan toilet terbuka, jangan buang kotoran di sembarang tempat.
Jadi, jika hendak ingin buang hajat, jangan di area yang dekat dengan jalur pendakian, atau di sekitar camp area, apalagi di dekat sumber mata air. Carilah tempat tersembunyi, kalau perlu gali tanah lebih dahulu. Untuk contoh, di sisi sebelah selatan dan tenggara Ranu Kumbolo, banyak sekali kotoran manusia yang berada di jalan setapak.
Itu benar-benar kurang etis, mengganggu, dan merusak kenyamanan. Jangan hanya memikirkan diri sendiri dan seenaknya saja, kita juga harus menghormati pendaki lain dan alam itu sendiri pastinya.
Alam dan gunung Indonesia itu indah, jangan dirusak dengan perilaku-perilaku tak bertanggung jawab yang bisa merusak keindahannya. Tugas kita sekarang bukan sekadar menjaga kebersihan dan kelestarian alam sebagai hal yang akan diwariskan buat anak cucu kita, tapi yang lebih utama adalah bagaimana kita juga menyiapkan dan mendidik anak cucu kita supaya bisa menghormati, menjaga dan tetap melestarikan alam, tak hanya di Indonesia, tapi juga di dunia.
Sumber: http://www.hipwee.com/daripembaca/jika-mengaku-suka-mendaki-dan-peduli-lingkungan-7-perilaku-ini-wajib-kamu-lakukan-saat-mendaki-gunung
Diklatsar PA Dipersimpangan Jalan
E. Sikap Religius Anggota Pecinta Alam yang Sesuai dengan Nilai-nilai dalam Kode Etik Pecinta Alam